8. Maukah kau menyukaiku?

12 3 0
                                    

Jrrraaaaazzzz

Sebuah pedang dari tanah menembus mulut sang ular, tepat ketika mulut itu menganga dan hampir melumat kepalaku.

Dengan aliran darah yang berpacu hebat, kutolehkan kepala dan mendapati Ivan mengadu kedua rahangnya hingga terdengar suara gemeretuk yang membuat ngilu. Sorot matanya menyeramkan, dengan dadanya yang naik turun.

Saat kami sama-sama terdiam, muncul Joe dan Pemandu di belakang Ivan.

"Hei, sudah kubilang kita tidak perlu ikut campur!" Joe mendorong Ivan dengan keras, membuat pedang berbalut darah di tangannya terlepas. Ivan tersungkur dan terdiam.

"Dimana anak itu?" Tanya Pemandu sembari menolehkan kepala kesabaran kemari. "Jangan bilang, dia ...."

"Tidak, dia ada di seberang sana. Tapi, gara-gara kalian datang. Ular itu hampir membunuhku. Dan, Ole ..."

"Ole ... Ole apa?" Tanya Joe menggebu.

"Ole ... Ada di seberang. Tadi, kami dihubungkan sebuah medan sehingga bisa melihat satu sama lain. Tapi, sekarang ... " Kuhela napas panjang, "aku tidak tahu keadaannya." Lanjutku lemah.

Sang Pemandu terdiam, sedangkan Joe terus-terusan memarahi Ivan. Dan melimpahkan semua kejadian yang tiba-tiba ini, karenanya.

Tapi, saat sekali Ivan menjawab dan membalikkan kenyataan. Joe terdiam.

Yah, tentu saja. Karena Joe kita bisa berada di dalam gua dan terjebak seperti ini. Tapi, karena Ivan juga, pada akhirnya aku dan dia turut terjebak.

Lututku lemas dan membuatku terjongkok. Kepalaku penuh, aku kesal sekali. Kesal pada Joe yang membuat kami terjebak, kesal pada Ole yang tidak bisa menyeberang dengan cepat, apalagi pada Ivan yang membuat kami berada di sisi ilusi ini tanpa bisa melakukan apapun. Yang paling membuatku kesal, adalah kenapa aku begitu lemah? Kenapa aku tidak bisa mencegah semua kekacauan ini terjadi? Bukankah aku yang selanjutnya akan memegang tanggung jawab? Kenyataan ini sangat menyebalkan!.

Kami semua terdiam, dengan bangkai ular besar yang melingkar di sekeliling kami. Dan aroma darah yang terus mengucur dari mulutnya. Pun, dari seluruh badanku yang tersiram darah. Karena, ular itu mati tepat di atas -kepalaku.

"Semua ini bukan salah siapapun. Kenapa kalian jadi nampak menyedihkan?" Pemandu memecah keheningan di antara kami. Hanya dia yang tetap berdiri sejak tadi.

Kami hanya memandangnya sekilas, kemudian kembali menunduk.

"Hanya karena hal seperti ini, kalian terpuruk? Kukira kalian pembelot yang hebat!" Kalimat provokasi-nya bahkan tak mampu menggerakkan Joe, sebagai Sang keras kepala.

"Semua peristiwa ini, ada tujuannya. Tidak ada satupun kisah yang sia-sia. Selama seseorang bisa mengambil pelajaran darinya."

Tepat ketika Pemandu berhenti, datang angin sejuk yang membelai setiap inci tubuh, dan membawa pergi seluruh darah yang melekat pada kulitku, menyamarkan bangkai ular dan menerbangkannya seperti debu.

Kami semua tertegun, kecuali Pemandu yang justru menyunggingkan senyum.

Craaaaasssssshhhh...

Suatu cahaya yang sangat menyilaukan muncul di langit-langit, dan saat kubuka mata, kami berada di bawah pohon berdaun pink di tengah danau. Tapi, tanpa gua sebagai langit-langitnya.

Ah! Menakjubkan! Langit biru dengan awan berarak, burung-burung berkicau dan terbang di udara. Aroma segar yang menenangkan. Suasana ini bahkan membuat air mataku menetes.

"Sarah! Lihat!" Joe menepuk pundakku, dan menarik tanganku. Ketika dia berhasil membangunkan ku, telunjuknya bergerak ke depan dan mengarahkan pada Ole yang sedang mengambang di atas danau. Dadaku naik turun, bagaimana bisa? Bagaimana bisa dia begitu?

Wind PrinceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang