Bab 6

20 3 0
                                    

Proposal skripsi Biru tergeletak di tempat tidurku, baru setengahnya yang bisa kubaca sepulang dari kampus hari ini. Aku tak bisa berkonsentrasi untuk skripsi Biru, pikiranku masih membendung pertanyaan-pertanyaan akibat pertemuanku dengan lelaki bernama Satria hari ini dikampus. Seperti berjalan mundur, aku mengingat kembali percakapanku dengannya sepeninggal Biru dan Kinar.

"Assalamualaikum, Saya Satria teman Biru" ucapnya sopan dan ingin menjabat tangan ku

" Waalaikumsalam, saya Fatih, calon suami Biru sekaligus dosennya dikampus. sambil meraih tangannya berjabat tangan.

"MasyaAllah indah dan romantis nya ketemu jodoh dikampus, impian kaula muda. " godanya sambil melihat sekeliling kampus

"Misteri jodoh yang patut kita syukuri kalau sudah diraih" sambungku

" betul dan perlu diperjuangkan juga,akhi. Jangan sampai beralih ke yang lain. Ok senang bertemu denganmu. Assalamualaikum. sambil tersenyum lalu berbalik arah menuju arah parkiran.

"Insyallah aku perjuangkan, waalaikumsalam." ucapku dan bergegas masuk ke gedung fakultas sastra.

Jika mengingat ucapannya tadi sore seakan dia ingin mengingatkanku jika aku harus menjaga hubunganku dengan Biru. Seolah dia ingin ada diantara kami berdua. Aku menggelengkan kepalaku, dan beristigfar karena telah suudzon padanya. Memang 3 bulan lagi tanggal pernikahan kami akan digelar, semoga Allah melancarkan semuanya. Walaupun kini rentang waktu tersebut menjadi sangat lama bagiku. Biru dan keluarganya kini menjadi kurang kooperatif membahas pernikahan, tidak seperti dulu. Apakah ini pertanda ada sesuatu dalam hubungan kami.

Kusandarkan kepalaku didinding kamarku sambil mencoba membaca lagi proposal skripsi Biru. Namun, 5 menit kemudian bunyi suara Nura memanggilku dari luar kamar. Membuatku harus menunda lagi membaca proposal skripsi Biru dan beranjak keluar kamar.

Diluar kamarku, mama dan Nura telah duduk di ruang keluarga, hanya ada 3 gelas teh diatas meja, wajah mereka terlihat sangat serius menatapku.

" Fatih, sini duduk, mama mau bicara! Perintah mama sambil mengambil secangkir teh diatas meja
" Ada apa ma, kenapa tumben nggak ada cemilan kue hari ini
" Mama tadi ditelpon sama bunda Biru
" Oh ya, mama kok nggak bilang
" Kamu udah berangkat lagipula kalo ada yang penting juga mama kabari kamu
" Terus mama ngobrol apa? Aku bertanya sambil duduk dan mengambil secangkir teh
Mama menatapku nanar, lalu bersandar pada bantal sofa diruang keluarga kami.
" Mama harap kamu kuat ya Fatih.
Aku mengerutkan dahiku tanda bingung dan menganggukkan kepala ku. Namun aku tahu maksud arah pembicaraan mama dan bunda Biru tadi pagi. Semoga saja perkiraan ku salah.

" Bunda Biru memutuskan untuk tidak melanjutkan acara pernikahan tahun ini, dia ingin Biru bekerja dulu setelah lulus kuliah.

" Tapi ma...

" Mama sudah meyakinkan dia untuk tetap melanjutkan acara pernikahan tahun ini tapi sepertinya mereka telah yakin, jika pernikahan kalian tidak bisa dilaksanakan tahun ini dan itu yang terbaik untuk kalian berdua saat ini. Jika kau tak bisa menunggu, mereka tak keberatan kau menikahi wanita lain.

" Pasti karena mantan suaminya adalah ... Ucapku yang sudah disela oleh mama

" Sudah Fatih, mama nggak mau bahas itu lagi.

" Biru tadi dikampus nggak bilang apa-apa ma

" Ia tapi kita harus menghormati keputusan orang tuanya Fatih.

" Kalian bisa tetap berhubungan walaupun tidak menikah tahun ini

" Berhubungan apa ma, pacaran? Aku melamarnya untuk menikah agar terhindar dari pacaran ma, itukan yang papa mama ajarkan?

" Ia maksud mama kalian masih bisa bersahabat baik sampai jodoh menyatukan kalian"

" Seandainya ada yang mengkhitbah Biru setelah ini bagaimana ma?

" Dia bukan jodohmu berarti, pernikahan bukan hanya tentang kamu dan Biru saja. Ada orang tua dan keluarga nya juga yang harus kamu pinta restu.

" Ada Dia juga ma, ucapku lirih

" Ia, ada Allah yang perlu merestui kalian juga, mama tahu sulit mungkin buatmu, tapi percayalah Allah selalu bersama hamba-nya yang bersabar.

Aku tidak berkata-kata lagi, hanya sedikit sulit menahan gejolak dihati akibat kenyataan ini. Hasbunallah wa ni'mal wakil... ucapku dalam hati. Lalu bergegas ke masjid shalat magrib seiring suara adzan terdengar merdu, meruntuhkan sedikit kekecewaan dibilik-bilik jiwa.

Selesai shalat magrib, aku sengaja tidak langsung pulang ke rumah dan juga tidak beranjak dari tempatku shalat tadi. Aku ingin zikir sambil menunggu waktu shalat isya.

"Fatih" ucap seseorang yang ada di belakangku yang kini duduk di sampingku
"Assalamualaikum, ustad" sambil mengajaknya bersalaman
"Waalaikumusalam, bagaimana papa mama sehat?
"Alhamdulillah, sehat, udah lama nggak ketemu ustad kalo ke masjid?
" Ia Fatih, ustad baru aja pulang kampung, jemput adik ipar insyallah mau kuliah disini tahun depan.
"O ya, mau kuliah dimana?
" Nanti ikut test dulu dikampus kamu, kabari ya infonya."
"Ia insyallah ustad nanti saya kabari."
Tak lama kemudian terdengar bunyi azan isya yang mengahiri pembicaraanku dengan ustad Rahman, guru ngaji ku sejak kecil sampai sekarang, walaupun kini hanya seminggu sekali setiap malam Jumat saja aku masih mengaji bersamanya dengan warga yang lain. Untung saja dia tak menanyakan perihal pernikahan ku, kini aku sedang tak ingin membicarakan hal itu dengan siapapun selain mengadu pada Allah. Biar ustad dan yang lain tahu aku tak jadi menikah 3 bulan lagi dari papa mama atau Nura, seiring waktu berjalan mereka pasti akan mengetahuinya. Kini aku ingin menanggalkan sebentar dunia dan permasalahannya untuk ketenangan jiwa yang kini goyah.



Kisah BiruTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang