Part 8

4.4K 116 9
                                    

A strong marriage is when two strong people, a husband and a wife always give strength to each other

Malam yang tiba terasa begitu janggal. Beberapa malam setelah pemergian ibuku, rumah kami masih dipenuhi sanak saudara dari sebelah ibu dan ayah. Dan selama beberapa malam itu juga kami semua tidur beramai-ramai di ruang tamu.

"Malam ini kamu tidur di dalam bilik, Hanna. Ajak suamimu," suara ayah mengejutkanku yang baru hendak berbaring di samping salah seorang sepupu perempuanku. Max yang sedang berborak bersama saudara-saudara lelakiku di satu sudut ruang tamu juga kelihatan tersentak dan menoleh kepadaku.

" Max, sudah masanya masuk tidur," suara tegas ayahku membuat suasana hening seketika. Perlahan Max bangun dan berjalan mendekatiku.

" Kamu dan Hanna ada tanggungjawab untuk mengembangkan keluarga ini," sambung ayahku selanjutnya disambut berbagai usikan dari para sepupuku.

" Pergi, Hanna. Tapi pastikan kamu membekap mulutnya dengan selimut, Max. Kami semua tidur di luar," usik Roy sepupuku yang  seusia denganku.

" Ya, Max. Pastikan benih yang disemai malam ini tumbuh ," usik yang lainnya.

"Harap-harap malam ni kau tak hanya menelan liur lagi, adik ipar," kini abangku yang juga masih solo turut masuk campur nengusikku dan Max.

Aku cuma mampu berdiam diri menahan malu, membiarkan Max menarik tanganku menuju ke bilik tidur.

" Kita sudah seminggu menikah, Hanna. Tetapi malam pertama kita belum terwujud, " Kata Max. Dia bersandar pada almari di sebelah tempat tidur sedangkan aku didudukkannya di birai katil. Matanya menelusuri tubuhku dari atas ke bawah membuatku berasa janggal dan malu.

" Memandangkan kita sekarang hanya tinggal berdua, ada yang ingin aku katakan, Hanna," dia masih berdiri di tempatnya. Tetapi sejurus setelah itu, dia menghampiriku dan melabuhkan punggung di sebelahku. Diusapnya pipiku dengan hujung ibu jarinya.

" Aku tahu, Hanna. Bagimu pernikahan kita cuma sekadar di atas kertas. Sekadar untuk menyenangkan hati ibumu di saat-saat akhirnya.

Tetapi bagiku, pernikahan hanya terjadi sekali dalam seumur hidup. Satu perkara yang perlu kamu tahu, Hanna. Aku lelaki yang benci pada penceraian kerana ibu bapaku hidup harmonis sampai saat ini. Aku mahu seperti mereka menikmati alam rumahtanggaku," ucapannya begitu berjela dan terasa lama untuk aku mencerna maksudnya.

" Max.. "

" Malam ini, aku ingin meminta hakku sebagai suamimu yang sah, Hanna. Tetapi, andai kamu belum bersedia, aku... "

" Max.. " aku menyentuh dadanya yang masih dibaluti baju T warna biru muda. Dia diam tidak terkata bila aku mula memberanikan diri mengusap dadanya. Tatapan mata kami bertemu.

" Hanna... "suaranya parau. Dia memejamkan matanya. Kini, aku mengangkat bajunya dan memasukkan tanganku hingga kini tanganku menyentuh kulit dadanya yang terasa panas. Max mendesah.

" Kita sudah bersumpah atas nama Tuhan, Max. Till death do us part, " kataku mengingatkannya.

"Hanna...ahhh... " desahnya tika aku memilih hujung dadanya.

"Hanna... Please, stop!" katanya dengan suara serak. Aku berhenti. Tanganku kuundurkan dan bajunya ku turunkan semula. Perlahan matanya terbuka dan dia senyum menandangku.

"Kamu sedia untuk menyerahkan dirimu padaku, Hanna?" dia bertanya lembut.

"Jika kamu tidak sedia, baik jangan dimulakan," dia mengingatkanku.

"Salahkah jika aku menyerahkan diri kepada suamiku?" aku bertanya padanya.

"Sangat tidak salah, isteriku," jawabnya. Aku memejamkan mata tika dia mencium bibirku, melumatnya dengan lembut.

"I want you, Hanna," katanya yang sudah berada di atas tubuhku. Leherku dihisapnya kiri dan kanan.

"Max..." aku sedikit protes bila dia mula menanggalkan pakaianku hingga tiada lagi yang menutupi tubuhku.

"You look so beautiful, Hanna," dia menunduk dan mencium bukit kembarku. Diremas dan dihisapnya kuat hingga aku mendesah. Tubuhnya ku peluk erat seolah tidak rela sentuhan kulit kami terpisah.

Aku tidak peduli lagi apa yang ingin dilakukannya pada tubuhku. Malah aku juga lupa untuk menyentuh tubuhnya agar dia juga merasakan apa yang aku rasakan. Semua sentuhannya terasa nikmat, tetapi tetap saja masih terasa kurang. Ada sesuatu yang mendamba untuk segera dipenuhi.

" Hanna.. aku akan merasmikanmu sebagai isteriku," katanya sambil membuka kedua kakiku dan menyelitkan tubuh sasanya di antara kakiku yang sudah terbuka lebar. Tombak kelelakiannya  terasa begitu megah untuk turun bertempur.

" Yang pertama pasti sakit, Hanna. Tapi aku berjanji, sakitnya hanya sebentar dan akan digantikan dengan rasa nikmat. Percaya padaku, Hanna," dia menyatukan dirinya dengan diriku.

"Ahhh.. Sakit, Max!" aku mencengkam kuat punggungnya.

"Shhhh... Rilex, Hanna," dia menciumku lama hingga rasa sakit itu hilang dan digantikan dengan satu rasa seperti yang dijanjikannya.

"Thanks, Hanna. Aku jadi yang pertama dan aku mahu hanya aku selamanya yang memilikimu," katanya setelah nafasnya reda. Pertarungan hampir satu jam benar-benar menguras tenaga.

Max terus terlelap dengan tangan kekarnya yang memelukku erat. Rasa perih dan denyut di celah pahaku memaksaku menyibak selimut dan menoleh ke bahagian bawah tubuhku. Ada kesan darah yang masih tersisa pada pangkal pahaku. Di atas cadar juga terdapat noda merah.

Aku berbaring semula. Aku memandang wajah tenang Max. Malam ini kami telah bersatu menjadi suami isteri yang sesungguhnya. Aku telah menyerahkan mahkota kegadisanku kepada Max, lelaki yang kupanggil suami. Perlahan wajah  Harold hadir. Air mataku menitis tanpa sedar. Maafkan aku, Harold, aku berbisik dalam hati. Semoga dia akan berbahagia bersama Hellena.

♥️♥️♥️♥️♥️

"Good morning, wife," sapaan pertama yang kudapat tika aku membuka mata. Max duduk di atas kerusi rias yang diletakkannya di tepi katil. Dia sudah berpakaian rapi, mengenakan jeans biru tua dengan kemeja berjalur hitam yang lengannya dilipat sampai ke siku.

" Aku terpaksa pulang hari ini, Hanna, kerana banyak kerja yang tertangguh," jelas Max.

"Aku?" tanyaku.

"Terpulang, Hanna. Mungkin kamu masih ingin menemani keluargamu," katanya.

"Bolekah kalau aku ikut pulang?" tanyaku. Pulang? Padahal di sinilah rumahku, tempat dimana aku pulang.

Mendengar pertanyaanku, senyuman Max melebar. Dia mengangguk sebelum menunduk dan bibirnya bersatu lagi dengan bibirku. Aku dapat melihat pada wajahnya bertapa dia gembira kerana aku mengambil keputusan untuk pulanh bersamanya.

"Tempat seorang isteri adalah di rumah suaminya," jawab ayahku tika aku mengatakan akan mengikut Max kembali ke Miri. Pendapat ayah ada benarnya, tetapi apakah bila di sana nanti aku akan tinggal serumah dengan Max. Atau mungkinkah kami akan tinggal terpisah seperti dua orang asing seolah-olah tidak terjadi apa-apa antara kami?

Apakah nanti Max mahu mengenalkan aku pada keluarganya yang belum tentu mahu menerima aku sebagai menantu? Bagaimana dengan Harold, akankah dia rela melepaskan aku sebagai isteri sahabat karibnya? Semua persoalan itu terus bermain dalam kepalaku sepanjang perjalanan kami menuju ke Miri.

Aku mengerling Max. Pandangannya tertumpu pada jalan di hadapan kami. Sesekali aku melihat dahinya berkerut, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu. Kamu lelaki baik, Max. Andai keluargamu tidak menerima aku, aku akan rela hati mengundur diri. Aku  takut menghadapi kemungkinan itu andai ia jadi nyata.

Press ⭐ and comment.
Tq for reading this part.
To be continued.....

Married To My Boyfriend's Best Friend ✔️Where stories live. Discover now