Part 5

307 20 0
                                    

Wira duduk disamping ranjang Qia sambil menggenggam tangannya. Sesekali menciumi punggung tangan Qia dengan penuh kerinduan. Raut khawatir dan rasa bersalah menghiasi wajahnya. Wira menghapus jejak air mata yang sudah beberapa kali menetes. Menyesal karena telah membuat perempuan yang dirindukannya terluka karenanya.

"Bangun Qia, banyak pertanyaan yang harus kamu jawab. Kenapa kamu ninggalin aku? Kenapa kamu tiba-tiba mutusin hubungan kita? Kenapa kamu tiba-tiba menghilang? Kenapa kamu gak memberikan aku kesempatan untuk mencintai kamu?" Wira terisak. Dalam hatinya selalu berdoa agar Qia cepat bangun.

Sudah 1 jam belum ada tanda-tanda Qia akan terbangun. Wira beranjak dari duduknya dan bergegas ke kamar mandi. Tak disangka Qia membuka matanya. Rupanya dari tadi dia hanya pura-pura tidur. Dia mendengar semua yang dikatakan Wira. Pelan-pelan Qia turun dari ranjang sambil memegang kepalanya yang sudah diperban. Rasa pusing tak dihiraukannya. Perlahan dia membuka pintu agar Wira tidak menyadari kepergiannya. Dia harus pulang. Ninis pasti khawatir karena sampai sore begini dia belum sampai di rumah. Urusan Wira bisa ditunda sampai besok. Toh besok mereka juga akan bertemu lagi.
======================================
Wira panik mendapati ranjang Qia kosong. Baru beberapa menit dia di kamar mandi untuk menenangkan diri dan mencuci muka. Apa Qia sengaja meninggalkannya? Wira makin panik memikirkan hal itu. Cukup sudah 3 tahun ini dia berkeliling untuk menemukan keberadaan Qia, dan dia harus kehilangan Qia lagi yang sudah di depan mata karena kecerobohannya menyebabkan perempuan itu terluka.

Wira keluar dari kamar VIP tempat Qia dirawat dengan tergesa-gesa sambil memanggil-manggil nama Qia. Tapi tidak ada jawaban. Wira nekat menuruni tangga dari lantai 6, padahal jika memakai lift mungkin bisa mengejar Qia yang baru saja masuk ke dalam taxi yang akan mengantarnya pulang. Wira hanya berharap menemukan Qia diantara anak tangga yang dilaluinya.

"Aaarrggh," Wira berteriak histeris setelah sampai di lantai dasar tapi tak menemukan keberadaan Qia. Tangannya menarik-narik rambut nya dengan kasar sambil mondar mandir di halaman Rumah Sakit.

Seorang satpam berlari menghampiri Wira dengan raut khawatir.

"Bapak mengejar perempuan yang barusan naik taxi? Yang kepalanya diperban?" tanya satpam hati-hati. Dia tau Dokter Wira sedang panik, salah bicara bisa-bisa dia kena semprot.

Wira langsung menatap satpam yang mengajak nya bicara. Yang ditatap langsung mengkeret takut kalau-kalau Dokter Wira akan marah karena mencampuri urusan nya.

"Iya, kamu liat taxi nya ke arah mana?" tanya Wira cepat.

"Tadi kalo gak salah denger mbak nya bilang mau ke jalan Serayu no 45 Pak."

Mendengar itu, tanpa ba bi bu Wira langsung masuk ke mobilnya yang memang diparkir di bagian depan Rumah Sakit, parkir khusus Dokter yang bekerja di Rumah sakit tersebut. Sedangkan parkir untuk pegawai berada di basement.

Tanpa kesulitan Wira menemukan alamat yang disebutkan satpam tadi. Sekarang dia sudah berada di depan pintu, bersiap untuk mengetuk pintu. Tapi tangannya yang sudah terangkat di udara diturunkannya kembali dengan perlahan, sambil memicingkan mata, mencoba memperjelas suara-suara yang ditangkapnya samar-samar. Suara laki-laki dan... Dia yakin, suara satu lagi, suara perempuan, itu suara Qia.

Reflek Wira memutar badannya dan melangkah masuk ke mobilnya kembali. Wajahnya gusar. Kenapa dia tidak pernah memikirkan kemungkinan terburuk ini? Qia sudah menikah? Kapan? Kenapa Qia tidak memakai cincin jika memang sudah menikah? Dia ingat karena saat Qia pingsan tadi, dia selalu memegang tangan Qia.

Wira merutuki kebodohannya. Dengan cepat dia memutar mobil dan kembali ke apartemennya. Untuk sekarang yang dia butuhkan adalah menenangkan diri dulu

Kisah Masa laluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang