Part 8

270 16 2
                                    

Qia melihat tangan kanannya yang sedang digenggam Wira. Sejak di mobil sampai mereka duduk berhadapan di cafe ini, hanya beberapa detik Wira melepaskan genggamannya.

Seorang pelayan menyerahkan 2 buah buku menu untuk mereka sambil senyum-senyum. Wira membuka-buka buku menu tanpa berniat melepaskan tangan Qia. Qia hanya merengut. Tak bisa protes dengan perlakuan Wira yang berlebihan.

"Kamu mau pesan apa Yank?" Tanya Wira yang masih membolak-balik buku menu.

"Samain aja," Qia menarik tangan nya kasar. "Lepas aku mau ke toilet."

"Aku ikut," Wira berdiri dari kursinya.

Qia menatap Wira tak percaya. "Kak Dokter kenapa sih nyebelin banget. Udah disitu aja, parno banget jadi orang. Kalo aku mau kabur dari tadi kali."

Wira hanya cengengesan dan duduk kembali, melanjutkan membaca-baca menu yang tersedia kemudian memesan makanan dan minuman untuk mereka.

Qia sengaja berlama lama di wastafel toilet, menatap bayangan wajahnya di cermin, menata degupan jantungnya yang dari tadi sedikit membuatnya lemas. Perlakuan Wira sedikitpun tak berubah seperti saat mereka pacaran dulu, 3 tahun yang lalu. Tatapan memuja Wira pun tak luntur seperti saat pertama mereka berkenalan, 8 tahun yang lalu. Qia pun tak bisa menepis perasaannya yang masih mengharap Wira. Tapi semuanya sudah terlanjur. Janjinya pada orang tuanya harus ditepati. Meskipun harus mengorbankan perasaannya pada Wira. Setidaknya dia masih punya beberapa tahun lagi untuk pulang, menyerahkan jalan hidupnya kembali pada orang tuanya.

"Yank, kamu masih di dalam?" Ketukan pintu mengagetkan Qia. Bergegas dia keluar dari toilet.

"Ngapain kak Dokter disini?"

"Nungguin sayang. Koq lama?"

Qia melewati Wira tanpa menjawab. Wira pun mengikuti Qia yang berjalan ke arah meja mereka. Rupanya pesanan Wira sudah terhidang di meja mereka. Qia pun mulai menyantap makanannya di bawah tatapan Wira.

"Kak Dokter gak makan?"

Wira langsung tersenyum dan mengambil sendok garpu dari piring lalu mulai menyantap makanannya.

"Abis ini sayang mau diantar kemana?" Tanya Wira.

"Bisa gak Kak Dokter manggil aku nama aja?"

"Ya gak bisa Yang, sayang juga manggil Kak Dokter kan?" Balasnya

Qia menghela nafas berat. Salahnya tidak bisa menghilangkan panggilan Kak Dokter. Memang dari awal berkenalan dengan Wira, Qia sudah memanggil nya Kak Dokter. Awalnya Wira keberatan, tapi lama-lama Wira malah merasa itu adalah panggilan sayang Qia untuknya. Karena hanya Qia yang memanggil nya dengan panggilan itu.

"Ya udah lah, gak usah dibahas lagi. Kita langsung pulang aja ya kak. Nanti sore kan Kak Dokter mau praktek lagi."

"Siap sayang. Makasih ya udah perhatian," kata Wira dengan tatapan berbinar.

"Apaan sih kak?" Balas Qia jengah. "Tapi aku mau ngomong serius sama kakak. Tunggu sampai kakak selesai makan."

Qia membuka handphone nya mengecek aplikasi chat nya sambil menunggu Wira selesai makan.

"Udah Yank." Wira mengakhiri makannya setelah meminum habis air putih dalam gelasnya. Tangannya menggenggam tangan kiri Qia yang bebas di atas meja.

Qia segera memasukkan handphone nya ke dalam tas dan menarik tangan kirinya. Wira melepas tangan Qia dengan tatapan tak rela.

"Kak Dokter..."

Qia tak melanjutkan ucapannya. Rasa gugup begitu menguasainya.

"Kenapa sih Yank? Ngomong aja. Aku gak mau ada yang ditutup-tutupi dari hubungan kita,"

"Kak Dokter masih ingat kan terakhir kali aku nelpon Kakak?" Qia berkata hati-hati.

Wira mengangguk ragu. Jika yang Qia maksud adalah telpon Qia saat memutuskan Wira sepihak 3 tahun yang lalu, bagaimana mungkin Wira bisa lupa.

"Jadi..?" Qia menggantung kalimatnya.

Wira pura-pura melihat jam dipergelangan tangan kirinya.

"Kita pulang aja yuk," tanpa menunggu persetujuan Qia, Wira berdiri dan melangkah ke arah kasir.

Qia memejamkan matanya beberapa detik sebelum akhirnya mengambil tas di kursi sebelahnya dan berjalan ke luar cafe, ke arah mobil Wira. Ingin rasanya Qia meninggalkan Wira dan pulang sendiri. Tapi karena Wira sudah berbaik hati mentraktir nya makan siang, pikiran tersebut dibuang nya jauh-jauh. Mungkin memang belum saatnya mereka membicarakan ini.

Kisah Masa laluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang