Part 9

296 16 4
                                    

Wira menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah sederhana. Qia mengernyit heran.

"Kak Dokter tau aku tinggal disini?" Tanyanya heran.

Wira terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal. Qia segera turun karena tidak mendengar Wira akan menjawab pertanyaannya.

"Kak Dokter gak turun dulu?" Wira lagi-lagi menggaruk kelapanya sambil cengengesan.

"Itu..., Suami kamu gak marah emang?"

Qia berusaha menahan senyumnya. Suami?

"Ah, palingan diomelin dua hari dua malam," sahut Qia asal. "Cepetan turun, Kak Dokter tanggung jawab udah bikin aku telat pulang kerja."

Wira hanya menurut. Belum sempat Qia mengetuk pintu, seseorang sudah membukanya dari dalam.

"Rio?" Wira berseru antara kaget dan senang. Jadi ini rumah Rio?

"Hai bro, masuk masuk," balas Rio ramah.

Qia melewati Wira dan Rio yang berpelukan di depan pintu. "Ninis mana Yo?"

"Tadi di kamar. Bikinin kopi ya Qi." Qia hanya mengangguk mengiyakan.

Ada rasa tidak suka melihat kedekatan Qia dan Rio. Mereka suami istri?

Tak lama keluar Ninis dan disambut Wira dengan pelukan. "Kemana aja bro? Bersemedi?" goda Ninis sambil melepas pelukan Wira dan duduk di sebelah Rio. Wira memperhatikan tangan Ninis yang mengelus lengan Rio santai. 'Hubungan macam apa ini?' fikirnya.

Rio yang menyadari arah pandangan Wira berdehem.

"Iri bro? Makanya buruan nikah." celetuk Rio. Wira hanya tersenyum masam.

Tak lama keluar Qia membawa nampan berisi dua gelas kopi.

"Koq cuma dua Qi?"

"Aq mau bantuin Qia beres-beres dulu ya. Kalian ngobrol aja disini."

"Owh, Qia mau pindah ke kost dekat tempat kerja nya. Lebih gampang katanya kalo pulang malam. Padahal kalo disini Ninis malah seneng ada temennya, kasian ku tinggal-tinggal terus,"Rio menjelaskan tanpa disuruh.

"Kamu kerja dimana sekarang Yo?"

Dan mengalirlah cerita mereka. Ninis dan Qia meninggalkan mereka berdua bercengkrama di ruang tamu, sesekali terdengar tawa mereka, bernostalgia masa-masa kuliah.

"Gimana hubungan kamu sama Wira Qi?" Ninis bertanya hati-hati.

Qia mengendikkan bahu. "Kamu kan tau aku udah putus sama dia sejak 3 tahun yang lalu. Dan sekarang dia bersikap seolah-olah gak terjadi apa-apa."

"Kamu mutusin dia tanpa penjelasan Qi, wajar dia gak terima."

Qia menghembuskan nafas panjang. Terbayang 3 tahun yang lalu saat dirinya diwisuda dan Wira tak bisa mendampingi nya karena kuliahnya tak bisa ditinggalkan. Padahal Qia sudah berencana untuk mengenalkannya pada orang tuanya.

Sedih memang, tapi Qia berusaha mengerti kesibukan Wira. Itu untuk masa depan mereka juga bukan? Qia hanya didampingi kedua orang tuanya saat itu. Sepulang acara mereka makan malam di luar.

Qia adalah anak tunggal. Papanya seorang Dokter Spesialis Penyakit Dalam. Mamanya Bidan seperti dirinya. Cita-citanya sejak SMP adalah menjadi guru Fisika. Tapi semuanya hanya angan-angan. Sejak lahir hidup Qia diatur Mama Papanya. Dari hal sepele sampai hal-hal pribadi tak bisa lolos tanpa campur tangan orang tuanya. Pun pemilihan jurusan saat kuliah.

Dan malam itu, Mama dan Papa nya mengutarakan tentang perjodohan Qia dengan anak sahabat Papanya, Om Juna. Qia dengan sengit menolak perjodohan itu. Tapi tidak ada yang bisa membantah keputusan yang sudah diambil. Qia yang hanya bisa pasrah akhirnya mengajukan syarat.

Sepulang dari makan malam Qia menelpon Wira, tak peduli jam di dinding kamarnya sudah menunjuk di angka 10. Pada deringan ketiga terdengar sapaan seorang perempuan, dia Lani. Mantan pacar Wira saat SMA. Apa yang mereka lakukan di jam 10 malam? Qia berusaha berfikiran positif. Qia hanya berpesan agar menyuruh Wira menghubunginya besok jam 7 pagi. Lani menyanggupinya dengan malas.

Besoknya Qia menunggu hingga jam 8 tapi Wira tak pernah menelponnya, SMS pun tidak. Qia bergegas memasukkan barang-barang nya ke dalam tas. Mengulur waktu berharap Wira menelponnya. Sampai taksi online yang dipesannya menjemput, Wira tak ada kabar. Di dalam taksi Qia nekat menelpon Wira.

"Kita putus," geram Qia saat terdengar sapaan Wira dengan suara baru bangun tidurnya.

Wira ingin menyela. "Pokoknya kita putus. Mulai sekarang kita gak ada hubungan apa-apa lagi. Jangan pernah menelpon atau mencari ku." Qia memutus sambungan telpon, mengeluarkan SIM card, mematahkannya dan membuangnya ke luar jendela taksi.

Kisah Masa laluTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang