🔫 Ch. I : Compassion

761 41 0
                                    

Eomma, Appa... aku takut...”

Sang ayah membelai lembut anaknya yang menangis dan gemetar ketakutan. Sesekali, ia tatap wajah istrinya yang pucat karena panik.

Gwaenchana, semua akan baik-baik saja.” Pria yang dipanggil ayah itu, mengusap air mata anaknya yang sedari tadi menangis dipelukan ibunya. Dengan senyumannya—yang terlihat dipaksakan, ia berharap anak dan istrinya bisa sedikit lebih tenang.

Namun, bukannya lebih tenang. Mereka terlihat lebih panik, tatkala terdengar suara pintu didobrak. Tangisan anaknya semakin menjadi, begitu juga istrinya yang kali ini tak kuasa menahan air matanya.

Sembari mengusap pipi istrinya, sang suami berkata, “Mianhae ... semua salahku. Maafkan aku, Sayang ... kalau seandainya saja hal itu tak kulakukan, semua takkan begini jadinya. Maaf, maaf, ma–” Ucapannya terhenti saat ia merasakan tangan lembut nan hangat menyentuh pipinya. Tanpa ia sadari, pipinya telah basah oleh guyuran air mata.

“Tidak apa-apa, Sayang. Aku tidak menyesali apa pun. Semua yang telah kamu lakukan hingga saat ini, demi negara dan orang yang kamu cintai, kan? Oleh sebab itu, jangan lagi meminta maaf. Sungguh, walaupun ini mungkin bisa jadi saat-saat terakhir kita, tapi tak ada satu pun hal yang kusesali ...” Wanita itu berhenti sejenak untuk menyeka air matanya. “Sa-saranghae, jeongmal saranghae.” Ia berikan senyumannya yang paling manis, untuk menyemangati suaminya.

Sang suami mendekap erat istrinya. Ia tak menyangka kalau istrinya lebih tegar dari yang ia duga.

Pelukan itu terasa begitu nyaman, bahkan wanita itu sudah lupa, kapan terakhir kali ia merasa senyaman ini. Rasanya ia tak ingin lepas dari dekapan ini. Nyaman, sangat nyaman. Dapat ia dengar suara napas yang selama ini selalu membuatnya tenang, tatkala ia menghadapi hari-hari buruk. Napas itu lambat laun berhenti, dan berubah menjadi sebuah bisikan singkat.

Gomawo

Sang suami mengecup kening istrinya. Ia memandangnya lekat-lekat. “Bawa anak kita dan kabur dari sini!” titahnya tegas. “Akan kualihkan perhatian mereka. Saat aku berteriak, lari secepat yang kamu bisa.” Wajahnya sangat serius.

Istrinya menggeleng pelan. “Tidak ada gunanya berlari. Kamu tahu, kan? Kita sekarang ada di rumah yang jauh dari pemukiman penduduk. Aku juga tadi sudah lapor polisi, mungkin lima belas menit lagi mereka sampai.”

“Jangan bilang kamu–”

Si istri mengangguk. “Kita akan ulur waktu sampai polisi datang. Dengan kita berdua aku yakin bisa mengulur waktu sedikit lebih lama.”

“Tidak, aku tidak akan mengizinkannya! Anak kita butuh sosok orang tua, kalau kita berdua kenapa-kenapa, apa yang akan terjadi pada anak kita nanti?” Sang suami terus memelas dan memohon agar istrinya tidak berbuat nekat, tetapi lagi-lagi, istrinya hanya menggeleng.

Sang suami memelas seraya berkata, “Please, Sayang ... jangan lakukan hal nekat ini. Aku ingin anak kita bisa merasakan hangatnya kasih sayang seorang ibu hingga dia dewasa nanti. Aku ingin kamu nanti bisa menimang cucu dari anak kita. Aku ingin dia merawatmu saat ajalmu kian mendekat. Aku ingin dia menggenggam tangan lembutmu dengan erat di saat akhir hayatmu. Aku ingin, aku ingin ...” Pipinya kembali basah setelah mengering cukup lama.

Sepasang telapak tangan menyeka air mata sang suami. Sesaat kemudian, ia merasakan sebuah kecupan hangat di bibirnya.

“Tidak apa-apa. Kamu tidak perlu khawatir, aku yakin anak kita akan jadi anak yang baik ...” Sang istri menatap anaknya yang baru saja terlelap. “Urieui adeul sangat tampan ya, Sayang.” Senyuman yang terlihat dipaksakan itu, tak kunjung pudar, bersamaan dengan air mata yang tak henti mengalir.

Love in CrimeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang