22. Cemburu

3.4K 253 7
                                    

Izza POV

Aku masih tak percaya jika sekarang aku sudah sah menjadi istri Mas Rudi.
Akhirnya mimpiku menjadi kenyataan. Tapi kenapa harus dengan cara seperti ini. Aku memang ingin jika kita berjodoh hingga ke pelaminan, tapi bukan pernikahan seperti ini yang aku maksud.  Aku ingin menikah dengan Mas Rudi atas dasar cinta,  bukan atas dasar tanggung jawab.

Tidakkah aku beruntung bisa memilikinya,  dia begitu tampan, sholeh, santun dan tentunya mapan. Mungkin  di luaran sana banyak wanita yang mengincar Mas Rudi untuk mereka jadikan suami.
Aku menatap pantulan ku dicermin.
Cantik.
Satu kata yang membuatku merasa sedikit pantas bersanding dengan Mas Rudi.
Aku terus menerus menatap pantulanku di cermin besar yang ada di kamarku. Aku tak menyangka, aku bisa secantik ini.
Hari ini aku dan Mas Rudi menjadi raja dan ratu sehari. Semua mata tertuju pada kami.
Aku dan Mas Rudi berdiri di pelaminan menyalami para tamu undangan, namun tiba-tiba pandangan Mas Rudi tertuju pada seseorang wanita cantik yang baru saja datang.
Mas Rudi tersenyum pada wanita itu, dan wanita itupun juga melambaikan tangan pada Mas Rudi.
Siapa wanita itu, aku seperti pernah melihatnya. Tapi di mana?
Tiba-tiba Ibu turun dari pelaminan diikuti juga oleh Bapak. Mereka berjalan menghampiri wanita yang tadi tersenyum dan mambaikan tangan dengan Mas Rudi.
Ibu tampak berlinang air mata, kemudian dipapah Bapak masuk ke dalam rumah Budhe.
Ada apa ini?
Senyum yang tadi menghiasi wajah tampan Mas Rudi seketika menghilang berganti dengan raut wajah cemas.

"Ada apa, Mas?" tanyaku pada Mas Rudi.

"Ibu menangis,  sepertinya gara-gara beliau bertemu dengan Anjani," sahut Mas Rudi.

Anjani?! Bukankah itu nama mantan tunangan Mas Rudi. Ah iya,  aku pernah sekali tak sengaja  melihat fotonya di ponsel Mas Rudi. Ternyata aslinya lebih cantik dan terlihat anggun. Aku tidaklah ada apa-apanya jika dibandingkan dengan dia.

"Ayo kita ke sana." Ajak Mas Rudi membuyarkan lamunanku sambil menggandeng tanganku. Aku pun hanya bisa mengangguk samar dan berjalan mengikuti Mas Rudi.

Sampai di rumah Budhe, aku mendengar Ibu menangis meminta maaf pada Mbak Anjani atas kesalahanku yang membuat pernikahan antara Mas Rudi dan Mbak Anjani harus berakhir.
Dari awal Ibu adalah orang yang paling tidak setuju dengan rencana pernikahanku dengan Mas Rudi. Beliau selalu menyalahkanku atas kekhilafan yang aku lakukan bersama Mas Rudi. Beliau bilang pernikahanku dengan Mas Rudi tak akan berujung bagagia karena aku telah menyakiti hati Mbak Anjani, lagi pula Mas Rudi juga sangat mencintai Mbak Anjani.

Iya, saat ini aku merasa apa yang Ibu katakan memang benar adanya.
Sorot mata teduh dan penuh cinta bisa kurasakan saat Mas Rudi memandang Mbak Anjani.
Begitu istimewa kah dia?

Aku keluar dari rumah Budhe saat Mbak Anjani sudah meyakinkan Ibu dan Bapak kalau dia sudah iklas dan turut bahagia dengan pernikahanku dengan Mas Rudi.
Tak terasa air mataku menetes membasahi pipiku. Entah sebab apa air mataku menetes, aku pun juga tak tahu. Tapi hati ini rasanya sungguh sakit. Bahkan orang tuaku pun terlihat menyayangi Mbak Anjani.
Sekali lagi aku bertanya, begitu istimewakah dia?
Aku menoleh saat Mas Rudi menepuk pundakku. "Ayo kita kembali ke pelaminan, tidak enak sama ada tamu yang datang. Sepertinya semuanya sudah membaik." Kata Mas Rudi sambil melemparkan sebuah senyuman padaku.

Selang beberapa saat kemudian Mbak Anjani menghampiri kami untuk memberikan ucapan selamat, doa serta restu untuk pernikahanku dan Mas Rudi. Senyumnya tak luntur dari bibirnya,  melihatnya aku sedikit merasa iri.
Aku memalingkan wajahku saat Mbak Anjani memeluk Mas Rudi. Aku tak sanggup melihat mereka.

***

Izza sudah berganti pakaian, atribut pernikahannya sudah ia lepas. Izza tak jadi merebahkan tubuhnya di ranjang saat pintu kamarnya terbuka,  nampaklah sesosok pria yang selama ini sudah mengisi hatinya.

"Izza, saya mau mandi," kata Rudi.

Izza berdiri dan mengambilkan handuk baru dari dalam lemarinya.

"Ini handuknya." Kata Izza sambil menyerahkan handuk pada suaminya.

"Terima kasih," sahut Rudi saat menerima handuk.
Rudi berjalan menuju tumpukan tas yang berisi bajunya yang ia bawa dari rumah.
Setelah mengambil pakaikan ia langsung keluar kamar menuju kamar mandi karena di rumah Nasidah tidak ada kamar mandi di dalam kamar tidur.

Izza gelisah, ia bingung harus bagaimana ia bersikap, rasa canggung selalu hadir saat ia berhadapan dengan Rudi. Izza merasa semuanya terlalu mendadak.  Sibuk dengan lamunannya tak sadar kini Rudi sudah berdiri di depannya.

"Izza, saya mau bicara," kata Rudi memecah keheningan.

Izza mengangguk sedang Rudi duduk di sebelah Izza.

"Jika kamu pikir kita akan pisah kamar itu salah besar," kata Rudi yang membuat Izza langsung menatapnya.

"Kita sudah menikah,  dan pernikahan kita sah di mata agama dan hukum. Saya tidak mau pempermainkan pernikahan. Kita hidup selayaknya suami istri," sambung Rudi.

Izza terdiam menatap Rudi.

"Jika kamu belum siap melaksanakan kewajibanmu sebagai istri,  maka sebaiknya kita tidur. Saya tidak akan memaksa." Sambung Rudi yang lalu berbaring di ranjang.

Izza masih bertahan pada posisinya untuk beberapa saat sebelum rasa ngantuk datang menyerangnya. Ia pun ikut menyusul Rudi masuk ke alam mimpi.

***

      ......bersambung......

Semarang, 17 November 2019

Salam

Silvia Dhaka

Repost 17-03-2021

MERAJUT CINTA HALAL (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang