Sinar matahari mulai meninggi menyentuh jendela kamar yang berada di lantai dua belas hotel ternama di kota ini.
Alvina mengerjap merasakan dinginnya pendingin ruangan yang menyapa kulitnya yang tidak tertutup selimut.
Ia melenguh, tangannya terulur memijat pelipisnya yang berkedut. Matanya terbuka lebar saat aroma woody menyapa indra penciumannya.
Ia terpaku terdiam menatap dada bidang didepannya, dengan ragu Alvina menatap kebawah lalu keatas menelusuri pria yang tengah mendekapnya.
Alvina mengigit bibir bawahnya sekuat mungkin guna menahan air matanya yang siap meluncur kapan saja. Ia cukup ingat apa yang terjadi sebelum pagi ini. Dia sudah seperti pelacur. Darah mulai keluar sedikit dari bibir Alvina bekas gigitannya sendiri, air mata mulai turun membasahi pipi mulusnya.
Ia menarik nafas panjang, menyingkirkan tangan kekar itu dari pinggangnya ia bangkit terduduk meremas selimut yang menutupi tubuhnya. Bagaimana dia bisa sebodoh ini.
Alvina melirik Rescha, pria itu masih terlelap tanpa rasa khawatir berbeda dengan dirinya yang dirundung frustasi.
Alvina beranjak, berjalan pelan menggapai apa saja untuk menjadi pegangannya ke kamar mandi.
Tiga puluh menit berlalu, rasanya tidak cukup bagi Alvina untuk mandi, bahkan jika ia mandi air susu-pun dirinya tetap kotor, semua sia-sia.
Ia menghela nafas, tekadnya sudah bulat untuk segera pergi tanpa berbicara pada Rescha. Alvina benar-benar berpikir apakah tidak cukup bagi Rescha menyiksanya selama ini.
Dengan langkah cepat, ia keluar dari kamar mandi.
"Alvina,"
Alvina tersentak menghentikan langkahnya menuju pintu didepan sana. Suara serak itu meluruhkan air matanya kembali. Ia terisak, bahunya berguncang hebat, tangannya terkepal kuat enggan berbalik menatap sang pemilik suara yang berjalan mendekat.
"berhenti! belum puas-kah lo siksa gue Resch, gue . . .," Alvina kembali terisak berbalik menunduk tak berani menatap Rescha yang berdiri didepannya dengan setelan kemeja semalam.
Rescha masih diam bersedekap menatap Alvina yang lebih pendek darinya. Ia tidak tau apa yang harus ia lakukan sekarang, pikirannya kacau.
"Lo ga inget, siapa yang minta?," sebuah pertanyaan keluar dari bibir merah Rescha mendapat perhatian dari Alvina yang langsung mendongak.
Ia memejamkan mata pilu kala ingatan itu terbesit dikepalanya. Baru Alvina hendak berucap, telepon genggam Rescha berdering begitu keras di suasana sunyi ini.
Rescha beranjak mengambil telepon hitam itu dari nakas tempat tidur. Alvina hanya diam mengamati gerak gerik Rescha masih sesekali ia menitihkan air mata.
"Alrescha nero! pulang! Bawa Alvina juga! Tidak tau malu ya kamu ini!,"
Rescha mengernyit mendengar amukan Kevan—ayahnya. Ia melirik Alvina, apa perempuan itu yang menelpon ayahnya. Sungguh licik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alliance With Him
RomantikAlrescha Nero Ardiaz, putra keluarga Ardiaz salah satu konglomerat di negara berkembang. Hidupnya tidak pernah tenang sejak remaja, rintangan hidup tidak pernah absen menyapanya. Demi mencapai kemakmuran hidup ia rela bekerja keras melewati lingkara...