"Lokasinya benar-benar strategis, keuntungan bahkan bisa tercium sebelum proyek berjalan, tolong presdir pertimbangkan,"
Rescha mengangguk-angguk nampak mempertimbangkan pernyataan pria paruh baya yang tengah menjalankan presentasi didepan sana. Ia melirik proposal di atas meja, mengetuk jari semakin berpikir sembari membolak-balikkan proposal bersampul biru itu.
"Maaf presdir, nona Raski menelpon masalah penting tentang nyonya Alvina," bisik Andara mengalihkan perhatian Rescha, diliriknya telpon gengam yang Andara bawa bisa dilihat panggilan dari Raski yang sudah tersambung.
"Baik, saya pertimbangkan lebih lanjut. Silahkan untuk rincian proyek dan lain sebagainya segera dikirim kepada sekertaris saya. Terimakasih, saya duluan," pamit Rescha berdiri merapikan jas yang ia kenakan. Setelah mengangguk membalas sapaan selamat tinggal dari seluruh karyawan dan partner yang berada di dalam ruangan, Rescha segera berbalik keluar ruangan diikuti Andara—sekertarisnya dan dua asisten pribadinya di Kantor.
"Ini presdir,"
Rescha mengangguk menerima uluran ponsel dari Andara. Ia berdiri di balkon ruang santai yang berada disamping ruang meeting menatap lepas gedung-gedung perkotaan. Setelah dipastikan Andara keluar ia segera menghubungi kembali Raski.
"Ada apa, Ki?" tanya Rescha saat telepon tersambung hingga suara tangis Raski terdengar, adik kecilnya itu terdengar sesenggukan di seberang sana membuat ia khawatir.
"Jangan nangis aja, kenapa?," ulang Rescha semakin kalut karena isakan Raski yang semakin kencang terdengar.
"Mas Echa .... mbak .... mbak Vina, ...,"
Rescha berdecak mendengar Raski tidak melanjutkan perkataannya dan malah kembali menangis, apa perempuan itu tidak tahu ia sudah kelewat bingung.
"Jangan nangis, Ki. Cerita pelan-pelan," pintanya menurunkan suara. Setelah tiga menit berlalu, Raski sudah dapat mengendalikan tangisnya membuat Rescha sedikit merasa lega.
"Ada apa?,"
"Mas ... Tadi Mbak Vina bilang pengin makan ramen, akhirnya Aski temani tapi pas sampai sana ketemu Mbak Aya, terus Mbak Aya .....," Raski terus melanjutkan ceritanya hingga akhir saat Alvina pergi entah kemana.
Pegangan Rescha pada pagar besi yang berada di balkon terlepas, ia sedikit mundur memasukkan tangannya ke dalam saku celana dengan helaan napas panjang. Rupanya mereka sudah bertemu bahkan sebelum ia menemui Andraya.
"Mbak-mu dimana?," tanya Rescha setelah terdiam cukup lama.
"Aski gak tahu Mas, Aski kira Mbak Vina pulang ke rumah ternyata gak ada, Aski juga sudah hubungi Mbak tapi gak diangkat, Aski takut ....,"
Rescha kembali menghela napas, jujur saja ia cukup panik tapi harus bisa ia sembunyikan karena mendengar suara Aski yang seperti ini, sangat panik apa jadinya jika ia ikut panik. Selesai sudah.
"Mama tahu?,"
"Gak tahu, Mas. Mama keluar lihat butik dari pagi,"
Akhirnya ada satu hal yang bisa membuat Rescha lega. Jangan sampai Talita—mamanya tahu, atau semua ini akan semakin sulit.
"Kamu tenang dulu, Mas akan cari Mbak-mu, jangan sampai orang rumah tahu,"
"Nggih Mas, Aski juga bantu cari,"
"Jangan, cukup Mas saja,"
Decakan kecewa terdengar diseberang sana, dari Raski. Tidak berani membantah, Raski hanya meng-iyakan apa yang Rescha katakan. Sedetik kemudian sambungan telepon keduanya diputus oleh Rescha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Alliance With Him
Roman d'amourAlrescha Nero Ardiaz, putra keluarga Ardiaz salah satu konglomerat di negara berkembang. Hidupnya tidak pernah tenang sejak remaja, rintangan hidup tidak pernah absen menyapanya. Demi mencapai kemakmuran hidup ia rela bekerja keras melewati lingkara...