***
Dua hari tak keluar dari apartemen. Zayd tak ingin memaksa Ziva, jadi selama dua hari itu dia benarbenar tak ingin mengganggu. Yang bisa dia lakukan hanya berdiri di depan apartemen. Memandangi jendela kamar Ziva dari bawah. Itu Zayd lakukan setiap malam, saat lampu kamar sudah padam baru dia pergi.
Suami yang tak diharapkan tibatiba muncul di depannya, suami yang tak diketahui asal usulnya tibatiba datang padanya. Sudah pasti bukan hal kecil untuk Ziva. Dan Zayd sangat mengerti itu, karena pada awalnya dia seperti Ziva.
Pernikahan itu tak pernah mereka duga, bahkan mungkin tak pernah mereka harapkan sama sekali.Kreekkkk!
Ziva membuka pintu apartemen. Dan Zayd yang sedang berdiri di depan pintu terkejut. Setiap pagi dia akan datang meski hanya sekedar menatap pintu. Setelah lima belas menit biasanya dia akan langsung pergi ke kantor.
Tapi hari ini tibatiba Ziva membuka pintunya."Masuklah!" ucap Ziva.
Zayd mengekori Ziva masuk ke dalam apartemen. Mereka duduk di sofa.
"Kau marah padaku?" kalimat pertama yang berhasil Zayd katakan.
Ziva menggeleng, "aku ingin tahu satu hal."
"Katakan!"
"Apa kau membeliku dari Akilla dan Adhy?" tanya Ziva.
Kali ini Zayd yang menggeleng.
Dan jawaban Zayd itu seperti air dingin yang menyejukkan Ziva. Dia sedikit lega karena setidaknya suaminya bukan pria yang akan membeli wanita seperti itu. Sebrengsek apapun Zayd, dia masih tak seburuk yang Ziva khawatirkan.
"Maukah kau ceritakan yang terjadi hari itu?" pinta Ziva. "Aku masih belum ingat banyak hal. Yang kuingat hanya potonganpotongan kecil saja. Aku ingin tahu apa yang terjadi padaku hari itu. Jika kau memang tidak membeliku, lalu kenapa aku bisa berkahir menikahimu?"
Haruskah dia memberitahu semuanya pada Ziva? Apa Ziva akan bisa menerima? Ingatan Zayd kembali ke masa enam tahun yang lalu. Seorang gadis dengan gaun pengantin berlari ke arahnya dan memohon untuk dinikahi.
Zayd memandang Ziva, "aku ada di hotel tempat kau akan menikah. Tibatiba kau datang memintaku untuk menikahimu. Saat itu tentu aku tak menghiraukan. Jujur saja selalu banyak wanita yang mengejarku, jadi saat ada yang memintaku menikah aku tak memiliki perhatian khusus. Hanya saja saat itu kau mengatakan hal yang membuatku tersentuh hingga aku bersedia menikahimu."
"Apa yang kukatakan?" tanya Ziva.
Zayd hanya tersenyum, dia tak mau memberitahu Ziva.
"Aku ingin kau mengingatnya sendiri," ucap Zayd."Baiklah, itu tak penting lagi sekarang. Jadi setelah itu kau bersedia menikahiku? Kita menikah?"
"Iya. Setelah menikah kita seperti pengantin pada umumnya. Kau tahu lah kan, berguling di tempat tidur bersama. Meskipun saat itu kau dalam pengaruh obat sih. Tapi saat itu tak bisa aku lupakan. Kita seperti pengantin yang sudah lama saling jatuh cinta. Yang saling merindukan."
Ziva mengetap bibir, "mesum!"
"Okay lupakan saja. Singkat cerita saat aku bangun kau sudah menghilang dari kamar. Kau bahkan memakai pakaianku untuk kabur. Meninggalkanku sendirian telanjang di kasur pengantin kita."
"Bisa gak kau bercerita tanpa unsur mesum?" kata Ziva kesal.
"Baiklah. Lagipula aku sudah selesai cerita. Kau mau bertanya apalagi?"
"Apa kita punya surat nikah? Maksudku, kita nikah siri atau ...."
Sebelum Ziva menyelesaikan ucapannya, Zayd menyodorkan hpnya di depan Ziva.
"Aku tahu kau akan bertanya ini. Tapi aku tak selalu membawa surat nikah kita setiap saat. Jadi aku sudah siapkan foto sebagi bukti untukmu."
KAMU SEDANG MEMBACA
MY UNINTENDED
RomanceTak diinginkan, Tak diharapkan, Tapi selalu dibutuhkan ... (Paling bingung nulis deskripsi. Hope you like this story meski description-nya absurd aneh dan gak menarik 😅✌)