Part 13

2.6K 301 30
                                    

***

Dilihat dari penampilannya Ziva yakin Airin bukan orang sederhana.

"Keluarga kau dimana?" tanya Ziva.

"Aku tak punya," jawab Airin lagi. "Terimakasih untuk baju dan tehnya. Aku pergi dulu!"

Airin sudah akan bangun tapi Ziva menahannya.

"Aku sebenarnya jarang peduli pada orang lain. Tapi karena kau adalah orang yang membantuku, aku tak bisa diam saja. Kau boleh pergi, tapi jangan sekarang. Ini masih hujan deras. Lagipula kau juga tak punya tujuan kan? Sudah jangan ngeyel. Kau tinggal di sini dulu."

Setelah selesai bicara Ziva meninggalkan Airin sendirian.
Dia masuk ke kamar. Saat melihat hp, sudah ada banyak panggilan tak terjawab dari Zayd.

Ziva menelepon balik.

"Ada apa?" tanya Ziva saat teleponnya sudah diangkat.

"Sudah sampai rumah?"

"Hmm sudah."

"Syukurlah. Hujan turun sangat deras, kau jangan kemanamana ya. Kalau butuh sesuatu minta aku aja okay?"

"Bagaimana keadaan temanmu?"
Ziva mengalihkan topik. Hatinya selalu tak benar setiap mendengar perhatian dari Zayd.

"Dia sudah baikbaik saja."

"Oh!"

"Wife!"

"Hmm?"

"I miss you!"

"Aku mau masak. Assalaamu'alaikum!"

Panggilan diakhiri dan Ziva melempar hp ke kasur. Dia menekup wajahnya yang panas. "Uhhh kenapa dia selalu membuatku seperti ini?"
Ziva mengipasngipas wajahnya. Jantungnya berdetak cepat.

Sementara di ujung sana, Zayd tertawa sendiri dengan reaksi Ziva.

Keluar dari kamar, Ziva melihat Airin tertidur di sofa. Diamdiam dia memotret wajah Airin lalu setelah itu pergi ke dapur untuk memasak makan malam.

***

"Terimakasih!" ucap Airin saat makan malam.

"Aku sudah membereskan kamar tamu. Nanti kau tidur disana saja ya. Jangan tidur di sofa lagi."

"Kau gak takut aku punya niat jahat padamu?" tanya Airin.

"Jujur aku bukan orang yang akan mudah percaya pada orang. Tapi aku juga bukan orang yang tak masuk akal. Kau pernah membantuku, dan aku berkewajiban membantumu balik. Jika kau berbuat jahat padaku ya itu resiko dari pilihanku untuk membuatmu tinggal," jelas Ziva sambil terus makan.

"Aku tak membantumu untuk membuatmu berhutang padaku," kata Airin ingin mengklarifikasi sesuatu.

"Aku tahu!"

Airin tersenyum sedih. Dia juga melanjutkan makan. Tanpa sadar air matanya turun.
"Seumur hidup aku tinggal di rumah mewah. Aku tak pernah kekurangan apapun. Aku tak membayangkan suatu hari aku akan hidup seperti ini." Tibatiba Airin berbicara aneh membuat Ziva mendongak menatapnya.

Ziva terkejut melihatnya menangis.

"Meskipun tak disayangi tapi mereka memenuhi semua kebutuhanku. Aku menyayangi mereka, orangtuaku. Aku tak pernah peduli jika mereka tak menunjukkan kasih sayangnya padaku, setidaknya mereka masih orangtuaku. Itu yang membuatku bertahan. Tapi ... hal terakhir yang menjadi pertahananku pun hancur. Tiga tahun lalu, terkuak sudah bahwa aku bukan anak kandung mereka. Aku anak orang lain yang tak sengaja tertukar. Mengetahui ini, mereka semakin tak menyukaiku. Tapi meski begitu mereka tetap mempertahankanku di rumah. Aku pun mencari alasan lain untuk bertahan, ya setidaknya mereka tak membuangku. Setidaknya namaku masih tercatat di kartu keluarga. Lagipula orangtua kandungku pun sudah tiada. Aku pikir aku bisa menjalani hidup seperti biasa lagi. Namun ternyata diamdiam anak kandung mereka memendam kebencian padaku karena merasa aku telah merebut haknya. Selama tiga tahun ini tak mudah untukku. Sampai akhirnya entah skema seperti apa yang dilakukannya, orangtuaku mengusirku."
Airin mengangkat wajah memandang Ziva. "Hari aku menyelamatkanmu adalah hari dimana aku diusir. Sebenarnya bukan aku yang menyelamatkanmu, tapi kau yang menyelamatkanku. Berkat kau aku bisa tidur nyenyak di rumah sakit."

MY UNINTENDEDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang