Dahulu dan Nanti

52 28 8
                                    

Ruddy meneguk kopinya.
Menikmati pemandangan di hadapannya.
Permainan aneka warna dari macam-macam karpet yang terhampar.
Di sebuah kota yang konon telah berumur lebih dari satu abad.
Dan yang sering disebut sebagai kota dua benua.
Istanbul.

Benaknya berkelana ke berbagai masa.

Masa lalu adalah ketika dia mengemis sedikit rasa peduli.
Dari para keluarga yang menampungnya.
Mungkin semua orang yang diharapkannya saat itu sedang terlalu penat.
Untuk menambahkan bocah itu dalam beban belanja bulannya.
Beruntunglah dia anak yang cerdas.
Dan pembawaannya yang ramah sulit diabaikan orang.
Satu demi satu beasiswa didapatkan.
Dan ia berhasil menapakkan kaki ke jenjang kuliah ke sebuah kota baru.

Kota yang mempertemukannya dengan keluarga baru.
Yang tidak dijalin oleh darah.
Melainkan oleh kasih sayang.

Mata Ruddy terpejam menikmati hisapan terakhir rokoknya. Turut tercium olehnya aroma rempah-rempah.
Diingatnya wajah pucat Om Candra, sosok yang dianggapnya sebagai ayah angkat.
Dan pertemuan terakhirnya sebelum penyakit Om Candra memburuk.
Sekuat tenaga dia memohon pada dokter agar meluluskan permintaan Sang Ayah Angkat untuk bisa dirawat di rumah.
Sehingga adik angkatnya, Tio,  tidak perlu melihat ayahnya menjadi pesakitan di rumah sakit.

Dia kerahkan semua usahanya untuk memenuhi wasiat.
Memastikan Tio mendapatkan kesempatan kedua di negara baru.
Melobi kiri kanan untuk pasport, visa, tiket, jaminan buat Tio.
Dengan menandatangani kontrak-kontrak kerja di luar batas kemampuannya.
Bahkan juga dengan mengorbankan waktu terakhir untuk mengantar kepergian Om Candra.
Demi memastikan Tio mendapatkan hidup baru

Masa kini adalah ketika sudah tiba waktunya menjemput Tio pulang.
Roda pemerintahan telah bergulir.
Para pembesar telah berganti.
Kini saatnya mereka yang terluka di masa lalu untuk pulang.

Tapi pertama-tama dia harus temukan dulu.
Tio yang memilih menghilang setelah kepergian ayahanda

Mungkin itu salahku,
pikir lelaki serigala itu.
Mungkin Tio punya seribu satu amarah untukku.
Dan dia memang punya seribu satu alasan untuk itu.

Ruddy menghela napas.
Tio, adikku.

Butterflies in My StomachWhere stories live. Discover now