1. Awal Dari Semuanya

482 64 26
                                    

Bismillah, selamat membaca...

***

"Aku pernah melakukan sebuah kesalahan fatal, yang sekarang amat kusesali, tak bisakah aku perbaiki?"
~Annisa Az-Zahra~


Brakk!!!

"Apa Ma?! Mama dan Papa mau jodohin Nisa?" tanyaku histeris sambil menggebrak meja.

Mama memejamkan mata seolah-olah sudah tahu bagaimana reaksiku.

"Jaga sikap kamu Nisa! Nggak sopan nggebrak meja di hadapan orang tua." tegur Papa sambil menatapku tajam seakan mengulitiku. Tapi aku tetap nggak peduli.

"Iya Sayang," kata Mama sambil menyentuh bahuku, "kamu mau kan menikah sama anak teman Papa, dia anaknya baik lho, sholeh juga, mapan, dan yang pasti sudah dewasa. Jadi bisa jagain kamu, Sayang." lanjut Mama dengan suara lembut.

Tapi aku malah semakin berang. Aku masih belum bisa mencerna apa yang batu aku dengar.

"Ma, ini tu sudah modern bukan jaman siti Nurbaya lagi. Jadi sudah nggak ada perjodohan-perjodohan kolot seperti itu!" jawabku dengan suara lebih tinggi.

"Nisa! Apa kamu tidak bisa bicara dengan suara lembut. Mama ini ibu kandung kamu lho yang melahirkan dan membesarkanmu. Jadi, bicaralah dengan lembut padanya!" tegur Papa lagi.

"Bagaimana Nisa bisa bicara lembut Pa? Sedangkan barusan Mama dan Papa bilang mau jodohin Nisa? Nisa itu masih muda Pa?! Baru lulus SMA bentar lagi mau kuliah. Dan Mama sama Papa bilang mau jodohin Nisa? Apa seperti itu Nisa masih bisa tenang Pa?!" kataku dengan suara semakin tinggi.

Mataku sudah terasa panas. Sekarang tatapan Papa sudah berubah lebih lembut padaku. Mama terlihat berkaca-kaca sekarang.

"Bukan begitu Sayang," kata Papa dengan suara lebih rendah.

"Mama dan Papa hanya ingin yang terbaik buat kamu, Sayang. Semua juga buat kebaikan kamu sendiri Nisa." lanjut Papa sambil beranjak duduk di sampingku dan mengelus puncak kepalaku.

"Dengan menjodohkan Nisa di usia muda Papa bilang demi kebahagiaan Nisa?! Apa Papa nggak salah tuh?!" tanyaku sarkastis.

"Karena menurut kami Bima itu orang yang bisa mencintai kamu dengan tulus Nisa, menjaga kamu selama Papa dan Mama tidak ada, dan yang Papa dan Mama harapkan bisa membawa perubahan yang baik untuk kamu, Nisa." kata Papa penuh kelembutan.

Aku balas menatap Papa tajam sementara mataku sudah siap menumpahkan air mata.

"Pa, Nisa emang perlu orang yang mencintai dan bisa menjaga Nisa, tapi orang itu bukan yang Mama dan Papa ajuin. Nisa bisa cari orang itu sendiri Pa!"

"Enggak, Papa akan tetap menikahkan kamu dengan Bima." ujar Papa tegas.

Aku tersenyum kecut, "Ini yang aku tidak suka dari Papa. Papa itu selalu mengekangku. Nggak boleh ini, itu, harus seperti ini, seperti itu. Nisa capek Pa, harus dikekang seperti ini terus! Nisa bahkan nggak boleh keluar tanpa Mama dan Papa. Selalu dibuntutin. Nisa bahkan sudah merasa seperti anak kucing yang nggak bisa mana-mana. Kalau seperti itu kenapa Nisa nggak dikurung aja Pa?! Sekalian dipasung, biar Nisa nggak bisa kemana-mana. Kenapa nggak seperti itu aja Pa?!"

"Jaga ucapan kamu Nisa!"

Papa hampir saja melayangkan satu tamparan keras di pipiku. Aku mengerjapkan mata sekejap, tidak yakin apa yang sedang terjadi. Papa memang kerap marah padaku tiap kali aku membuat kesalahan. Tapi, tidak pernah sampai semarah ini, apalagi sampai mau menamparku.

"Papa mau nampar Nisa? Ya sudah ayo tampar?" air mata sudah mengalir di pipiku.

"Jangan Pa! Nisa ini anak kita, darah daging kita! Jangan pakai kekerasan!" ujar Mama membelaku. Mendengar Mama seperti itu, Papa mengurungkan niatnya.

Aku menangis, Mama juga ikut menangis.

"Sudah Sayang, kalau kamu tidak mau ya nggak apa-apa. Mama sama Papa nggak akan maksa kamu kok." kata Mama tulus sambil mengecup keningku.

"Ma, nggak bisa gitu dong?" kata Papa nggak setuju dengan Mama.

"Sudahlah Pa, kita bisa bicarain ini lagi nanti. Sudah Sayang, jangan nangis lagi Mama ikut sedih nih. Kalau kamu nggak mau kami nggak akan maksa, semua terserah Nisa. Mama dan Papa hanya mengajukan calon yang menurut kami baik buat kamu. Diterima atau tidaknya semua terserah kamu Sayang." kata Mama berusaha menjelaskan.

Aku masih syok sehingga nggak bisa berfikir jernih. Aku bangkit berdiri lantas menatap Mama dan Papa bergantian sambil mengusap air mataku.

"Ma, Pa. Tolong dengerin Nisa baik-baik ya, mau sebaik apapun dia, semapan apapun dia, sesoleh apapun calon yang diajukan Mama dan Papa, Nisa nggak akan mau dijodohin. Nisa masih muda Ma, Pa. Nisa bisa cari jodoh sendiri!" kataku dengan penuh penekan di setiap kalimat. Lantas aku berlari meninggalkan Mama dan Papa menuju kamar dengan membanting pintu.

***
Next kalau ingin lanjut

Married with DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang