Bismillah, selamat membaca...
***
"Buatku kebahagiaan orang tua adalah yang utama. Masalah hati, bisa kupikirkan nanti."
-Annisa Az-Zahra-***
Nisa kini berdiri di depan pintu kamar 201, lantai tiga rumah sakit tempat Papanya dirawat.
"Ayo masuk, Papa pasti ingin bertemu denganmu." bisik Ratih, mamanya menguatkan.
Tanpa terasa Nisa kembali menangis. Dia langsung memeluk Ratih erat dan menumpahkan kesedihannya. "Ma, maafin Nisa. Nisa nyesel Ma."
Ratih mengelus punggung putrinya penuh kasih sayang. "Sudahlah Sayang, Mama sudah memaafkan kamu. Papa juga pasti sudah memaafkanmu, nggak ada satupun orang tua yang membenci anaknya, ayo masuk."
Nisa melangkah masuk dengan hati bergetar dan air mata yang masih mengalir. Dan di atas ranjang rumah sakit yang sempit itu terbaring sesosok laki-laki yang sangat menyayanginya.
Dialah Wijawa, papanya. Papa yang selalu mengahapus air matanya kala ia menangis, Papa yang selalu melarang ini itu demi kebaikannya, Papa yang semalam ia bentak, Papa yang semalam begitu mengkhawatirkannya dan sekarang terbaring tak berdaya di ranjang rumah sakit.
Dengan sedikit berlari Nisa menghampiri Papanya dan memeluk sosok yang tak berdaya itu.
"Sudah Nisa, jangan menangis. Ini bukan salah kamu." kata Papanya pelan.
Tangis Nisa semakin menjadi-jadi mendengar ucapan Papanya barusan. "Pa... maafin Nisa ya, Pa. Kalau saja semalam Nisa menuruti kemauan Papa, pasti Papa sekarang baik-baik aja." ucap Nisa sambil menyusut air matanya.
Papanya menggeleng pelan sembari tersenyum. "Ini bukan salah kamu Nisa, ini sudah takdir Papa, Sayang."
"Pa Nisa sadar selama ini Nisa cuma bisa merepotkan Mama dan Papa saja. Nisa nggak pernah mau dengerin nasehat Mama dan Papa. Nisa hanya bisa…"
Papanya menyela ucapan Nisa, "Dengarkan Papa Nisa, nggak ada orang tua yang merasa direpotkan sama anaknya sendiri. Anak itu permata hati orang tua, karena bahagiamu bahagia kami juga Sayang."
Nisa meraih tangan kanan sang Papa dan langsung mengecupnya dengan derai air mata. "Maafkan Nisa ya Ma, Pa. Nisa sayang kalian."
"Papa sama Mama sudah memaafkan kamu Sayang, kamu juga maafkan kami ya jika Papa dan Mama salah mendidik kamu," kata papanya pelan.
Nisa menggeleng cepat, "Papa sama Mama nggak pernah salah mendidik Nisa. Nisa-lah yang selalu membangkang perintah Mama dan Papa."
"Ma, Pa sekarang Mama sama Papa katakan apa yang bisa Nisa lakuin untuk membuat Mama dan Papa bahagia?" tanya Nisa sungguh-sungguh.
Papanya mengelus puncak kepala Nisa sambil tersenyum. "Keinginan Papa saat ini adalah segera menikahkan kamu, Sayang."
Nisa menatap kedua orang tuanya bergantian, Mamanya mengangguk berarti keinginan mamanya sama dengan papanya. "Kalau itu yang Mama dan Papa inginkan. Nisa siap. Nisa mau menikah dengan siapapun pilihan Mama dan Papa." kata Nisa mantap.
"Apa kamu yakin? Pernikahan itu bukan untuk main-main ya, Nisa. Pernikahan bukan hubungan yang ketika ada masalah terus putus seperti pacaran, Sayang. Pernikahan itu sakral, pernikahan bukan hanya perjanjian di antara dua orang saja, tetapi perjanjian di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala untuk membina rumah tangga. Jadi, kamu nantinya nggak boleh mempermainkan pernikahan. Dan lagi pernikahan juga akan membatasi pergaulan kamu, kamu harus patuh sama suami, kemana-mana harus izin dulu, apa kamu siap untuk itu semua?" tanya Wijaya serius pada putrinya.
Di matanya tersirat begitu banyak sekali harapan. Dan ketika Nisa dapat mewujudkan salah satu harapan itu, mengapa tidak ia lakukan?
Maka dengan sedikit ragu Nisa menjawab, "Nisa siap Pa."
Nisa nggak tahu yang barusan dikatakannya itu merupakan keputusan finalnya atau bukan. Tapi yang pasti kalimat 'ya' barusan, akan berpengaruh sangat besar dikehidupannya nanti.
***
Lanjut gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Dosen
Roman d'amour[Romance - Spiritual] "Aku mencintaimu Mas, teramat sangat mencintaimu. Tapi mungkin cintanya kepadamu lebih besar daripada cintaku untukmu. Maka menikahlah dengan dia." -Annisa Azzahra- "Aku sudah mengakad dirimu, dan pada saat i...