3 Menemui Ardi

312 49 17
                                    

Bismillah, selamat membaca...

***

Aku merutuki diri sendiri ketika menyadari apa yang tadi aku katakan pada Papa. Bagaimana bisa tadi aku mengajukan Ardi sementara aku nggak tahu bagaimana perasaanya padaku. Tapi mau bagaimana lagi, sudah kepalang tanggung. Dan sekarang tujuanku hanya satu. Temui Ardi dan katakan yang sejujurnya.

Tapi, bagaimana reaksinya ketika aku dengan tiba-tiba menyatakan cinta dan mengajaknya nikah? Ini gila! Aku bener-bener sudah gila. Bagaimana kalau ternyata selama ini dia tidak pernah suka padaku dan menolakku? Atau malah menertawakanku karena dianggap bercanda? Serentetan pertanyaan itu menghantui pikiranku.

Masa bodoh dengan semua pikiran itu, nggak ada jalan lain, yang terpenting temui saja dia dan katakan yang sesungguhnya. Aku nggak punya pilihan lain selain Ardi. Aku nggak punya temen deket laki-laki selain Ardi. Nggak mugkin juga aku bawa Fahri, mantan pacarku itu. Papa jelas-jelas nggak suka dengan Fahri, aku sendiri juga sudah muak dengannya. Tapi, nanti kalau Ardi beneran nggak suka dan menolakku gimana? Hanya ada satu jalan keluar....kabur. Tapi kabur kamana? Ah, akan aku pikirkan itu nanti.

Aku merogoh-rogoh tas bermaksud mencari hp untuk mengabari Ardi kalau mau ketemu. Tapi Sial! Hpku ketinggalan! Kenapa di saat genting seperti ini sifat pelupaku muncul?

"Sudah sampai Mbak." teguran Pak supir taksi mengagetkanku.

Aku berdiri di depan gerbang rumah Ardi. Gerbangnya masih dibuka. Aku masih ragu-ragu mau masuk. Mendadak tubuhku panas dingin. Keningku berkeringat. Kalian bayangkan saja gimana kondisiku sekarang, datang ke rumah orang yang kalian suka tapi kita sama sekali nggak tahu apakah orang itu juga suka pada kita atau nggak, terus tiba-tiba kita datang dan menyatakan perasaan lalu mengajaknya nikah. Gila kan? Seperti itulah yang aku rasakan saat ini.

Kupencet bel rumahnya. Semenit kemudian seorang wanita paruhbaya yang membukakan pintu. Seperti biasa Tante Dewi, ibunya Ardi yang membukakan pintu. "Eh Nisa, tumben kemari malem-malem ada perlu apa?" aku menggaruk tengkuk yang tidak gatal.

Bingung mau jawab apa. "I-ini ada perlu sama Ardi, Tante. Ardinya di rumah tante?"

Tante Dewi menatapku tidak mengerti, lalu menjawab, "Haduh sayang sekali Nisa, Ardinya lagi nginep di rumah sepupunya. Kamu bisa titip pesan ke Tante, nanti tante yang sampaiin. Gimana?"

Jawaban Tante Dewi seketika membuatku tak berkutik. Kenapa di saat seperti ini Ardi nggak ada di rumah? "Oh nggak usah Tante. Nisa bisa telfon sendiri nanti, cuma mau ngobrol-ngobrol doang kok Tante.. Kalau gitu Nisa pamit pulang dulu Tante."

"Ya udah kalau begitu. Beneran nih, nggak mau mampir dulu, minum dulu, masa baru datang langsung pulang." bujuk Tante Dewi. Aku tersenyum canggung, "Nggak usah Tante, udah malam. Nisa pulang dulu ya, permisi Tante."

***

Sepulang dari rumah Ardi, aku bingung mau ke mana. Aku menyusuri jalan dengan jalan kaki. Pikiranku mengenai perjodohan kolot itu terus berkecambuk di kepalaku. Aku merasakan perkataan Papa yang mau menjodohkanku nggak main-main. Aku melihat sirat keseriusan di sana. Susah bagiku untuk menolak, Mama jelas mendukung Papa sepenuhnya meskipun tadi Mama mengatakan tidak akan memaksa tapi aku yakin pada akhirnya Mama akan memintaku menerima perjodohan ini.

Kakakku, Mas Adit? Nggak usah ditanya. Dia duplikat Papa dalam segala hal yang berhubungan denganku. Mulai dari milih sekolah, teman bergaul, antar-jemput aku sekolah jika di rumah, bahkan Mas Adit akan mengadukan setiap kedekatanku dengan teman laki-laki. Lalu akhirnya aku dimarahi habis-habisan sama Papa. Tidak jarang aku dan Papa bertengkar perihal aku yang ketahuan pacaran.

Mama sama Papa memang ketat sekali dalam mengawasi pergaulan anak-anaknya. Aku tahu itu semua karena sikapku yang ngeyel dan selalu pacaran diam-diam di belakang mereka. Aku rasa itu yang membuat Papa memilih menjodohkanku cepat-cepat.

Aku masih nggak percaya di usiaku sekarang sudah mau dijodohkan. Masa mudaku, kumpul sama teman-teman, kuliah, bekerja, semua itu hanya tinggal mimpi bagiku.

Menjadi istri diusia muda sama sekali tak terbayangkan olehku, mau kemana-mana harus ijin dulu, belum lagi nggak cocok sama mertua, ngurus rumah, masak, dan juga sudah menggendong anak disaat teman-teman lain lagi pada hangout. Memikirkan itu semua membuat kepalaku pening. Hanya ada satu tempat yang jadi tujuanku sekarang.

Club!

***
"Beri gue segelas lagi." kataku setelah menenggak habis segelas minuman beralkohol.

"Gue nggak berani Nisa, kalau sampai kakak lo tahu, lo mabuk di sini lagi bisa-bisa kakak lo nuntut ini club. Lo mau?" ceramah Willy penjaga bartender.

"Lebay lo. Mas Adit nggak akan tahu gue di sini. Cepetan beri gue segelas lagi!" kataku tegas. Perutku terasa bergolak, seperti diaduk-aduk. Padahal aku baru saja minum segelas.

"Nggak Nis, gue nggak berani." kata Willy khawatir melihat keadaanku.

"Alah nggak usah banyak omong! Gue bayar juga! Cepet beri gue segelas!" kataku sambil menggebrak meja.

Willy terlonjak kaget. Sedetik kemudian dia sudah mengisi kembali gelas minumanku.

"Nis, kalo lo ada masalah, lo bisa cerita sama gue. Nggak usah lampiasin dengan minum-minum seperti ini." ceramahnya lagi.

"Diem lo, kepala gue pusing denger ceramah lo!"

Sumpah demi apa, perutku seperti diaduk-aduk. Aku berjalan terhuyung-huyung melewati lautan manusia yang tengah berlenggak-lenggok di lantai dansa. Kudengar suara Willy meneriakiku di kejauhan. Sesampainya di luar, di dekat parkiran...

Hoek... Hoekk

Perutku bergolak. Memuntahkan cairan kuning berbau menyengat itu. Kepalaku pening, berdenyut-denyut seperti dihantam sesuatu. Pandanganku kabur. Sesaat kemudian aku mendengar suara sayup-sayup memanggil namaku dan sebuah tangan menangkap tubuhku. Setelah itu aku nggak mendenggar apa-apa lagi dan gelap.

***

Next nggak?

Married with DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang