6. Lamaran

256 21 20
                                    

Bismillah, selamat membaca...

***

Hari demi hari pun berlalu, keadaan papa semakin membaik setiap harinya, dan papa sudah diizinkan pulang setelah seminggu dirawat di rumah sakit. 

 Sikapku ke mama dan papa pun sudah mulai berubah. Aku juga sudah mulai mendengarkan dan berusaha nggak membantah mereka. Karena, setiap kali aku mau membantah, tiap kali itu juga ingatanku melayang ke malam naas itu. 

 Mas Adit dan Mbak Rika sangat senang dengan keputusanku menerima perjodohan ini. Terlebih lagi adikku, Saiful. Kurasa dia adalah orang yang paling bahagia karena keputusanku ini, tentu saja dia nggak usah susah-susah berebut perhatian Mas Adit lagi sama aku. 

 Aku nggak tahu kenapa hari-hari berlalu begitu cepat. Semua orang di rumah selalu membicarakan dia, yang sebentar lagi akan datang melamar. Menurut rencana, keluarganya akan datang besok malam untuk melamar. Secepat itukah? Aku bahkan belum pernah bertemu dengannya, dan sebentar lagi dia mau datang melamar? Aku bahkan masih ragu apakah besok aku masih akan ada di rumah ini atau nggak. Jujur saja di kepalaku dipenuhi berbagai macam cara membatalkan perjodohan ini, salah satunya dengan kabur. Tapi sayangnya akal sehatku melarang untuk itu. 

 Aku juga belum memberitahu teman-temanku perihal perjodohan ini termasuk Ardi. Terlebih lagi yang mereka tahu aku sedang patah hati selepas putus dengan Fahri. Mereka nggak tahu saja, aku memang marah dengannya karena telah berani selingkuh dibelakangku. Aku menangkap basahnya sedang berciuman dengan gadis lain di belakang sekolah di hari wisuda kami. Tanpa pikir panjang kuputuskan dia langsung ditempat.

Sebenarnya bukan perkara putus dari Fahri yang jadi masalah buatku. Aku kesel karena malu kenapa juga harus di sekolah aku memergokinya kenapa bukan di cafe, di mall, atau dimanapun asal jangan di sekolah. Seakan-akan nggak ada harga diri diselingkuhi terang-terangan gitu.

Oh ya, setelah kepulanganku dari rumah Ardi waktu itu sehari setelahnya dia telepon menanyakan alasan kedatanganku.  Tetapi aku belum bisa mengatakannya dan berjanji akan mengatakannya ketika kami berempat bertemu. Aku masih belum siap, aku masih butuh waktu bukan?

***

Aku sebenarnya malas banget di rumah. Karena dari pagi, siang, sore selalu yang orang-orang rumah bicarakan mengenai Bima. Kayak nggak ada topik lain aja! 

Seperti sekarang ini, kami semua sedang kumpul keluarga di ruang tamu. Ada Mas Adit dan Mbak Rika juga, mereka masih menginap di sini. Lagi-lagi mereka membicarakan tentang asal-usul Bima, pekerjaannya, tempat tinggalnya, keluarganya. Dan semua hal yang berkaitan dengan dia. 

 "Bima ini orangnya sopan banget Ma, kita pernah ketemu dia ya Mas, beberapa hari yang lalu di Mall dia lagi sama adiknya. Dia juga ngajar di universitas incaran kamu lho Nis, bisa jadi nanti kalian satu kampus." kata Mbak Rika dengan semangatnya. 

Aku hanya mengangguk dan memasang wajah senyum. Papa dan Mama juga ikut tersenyum ke arahku. Dan karena senyuman itulah mulai dari sekarang aku berjanji hanya akan ada senyum yang menghiasi wajah mereka. Urusan hatiku, akan aku pikirkan nanti. 

 Aku nggak tertarik sama sekali mengenai topik pembicaraan yang selalu nggak jauh-jauh dari Bima. Bahkan, mengenai pekerjaannya saja aku nggak peduli, yang terpenting nanti aku masih diberi makan sama bisa kuliah saja aku udah bersyukur. 

 "Ma, Pa, semuanya, Nisa ke kamar dulu ya udah ngantuk mau tidur." 

 "Masih juga jam delapan, biasanya kamu juga tidur jam sepuluh, sebelas kan?" ujar Mas Adit. Kenapa sih Mas Adit nggak peka sama adik sendiri. 

Married with DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang