Bismillah, selamat membaca...
***
Tanggal pernikahan sudah ditentukan. Akad nikah sekaligus resepsinya dilangsungkan di sebuah hotel berbintang di Jakarta selatan. Tempat kami tinggal selanjutnya pun sudah direncanakan.
Jadi, setelah nikah aku ikut Bima tinggal di rumahnya. Ingat rumahnya! Itu artinya bukan rumah ku ataupun rumah ayah mertua, tapi rumah Bima sendiri. Bisa dibayangkan, semua pekerjaan rumah harus aku yang beresin. Masak, bersih-bersih rumah, nyapu, ngepel, nyuci dan masih banyak lagi. Oh astaga! Itu semua mimpi buruk!
Daripada pusing memikirkan itu semua, selesai acara makan malam bersama aku memutuskan pergi ke teras depan untuk mencari udara segar. Aku menengadahkan wajah, menatap langit yang malam ini penuh dengan bintang. Tuhan, apakah ini memang takdirku? Apakah memang namanya yang tertulis di lauhul mahfuz? Apa aku akan bisa mencintainya? Tanpa terasa air mata kembali luruh di pipiku.
Ekhem, terdengar deheman seseorang di belakangku. Buru-buru kuseka air mata yang dengan berani membasahi pipiku. Aku menoleh ke belakang sesaat sebelum kembali menghadap ke depan, seolah-olah nggak terganggu dengan kehadirannya, karena ternyata dia, pria sombong itu. Aku bersikap cuek padanya, emang cuma dia aja yang bisa cuek, aku juga bisa!
"Apa alasan kamu menerima saya sebagai calon suami kamu?" tanyanya langsung, tanpa basa-basi.
Aku cukup kaget mendengar pertanyaannya. Ternyata selain sombong dia juga tipikal orang yang… um formal, ngomong aja pake saya saya segala.
"Kurasa aku nggak ada alasan untuk menolak permintaan orang tua." entah kenapa malah kalimat ini yang keluar dari bibirku.
Pria sombong itu melangkah maju, hingga kami berdiri sejajar walau jarak kami masih cukup jauh. Dia memasukkan kedua tanggannya ke dalam saku celananya. Dia bergaya atau kedinginan?
"Kamu tahu kan pernikahan itu bukan untuk setahun dua tahun, tapi untuk selamanya. Jadi kamu sudah benar-benar yakin mau jadi istri saya?" tanyanya tanpa menoleh ke arahku. Noleh aja nggak sampe bikin geger otak kan? Dasar sombong!
"Apa jawabanku tadi belum cukup jelas?" jawabku sedikit kesal. Selain sombong dan formal, apa dia juga tuli?
"Maksud saya, apa kamu akan berniat pisah setelah satu dua tahun pernikahan?"
Aku bingung mau jawab apa sekarang. Aku terdiam beberapa saat sebelum menjawab. Kukira pertanyaannya cukup wajar, kulirik dia yang masih terus saja nggak menatapku, di usianya yang sekarang dia pasti menginginkan pernikahan yang serius, bukan yang setahu-dua tahun nikah abis itu cerai.
Oh No! Aku juga benci perceraian dan aku juga berniat menikah satu kali seumur hidup. Tapi, apa harus dengan dia? Pria sombong di sampingku ini!
"Itu sih tergantung," dia menoleh ke arahku dan pandangan kami bertemu sesaat, sebelum dia mengalihkan pandangan.
Tapi sungguh, meskipun mata kami sempat bertemu sekilas dan dia juga menatapku datar, tapi itu sudah cukup membuat jantungku bertalu-talu di dalam sana. Oke! Harus kuakui, sebenarnya dia cukup...um tampan. Kedua alisnya tebal, warna bola matanya sedikit kecokelatan, dan hidunya mancung, berbeda dengan hidungku yang melesak ke dalam.
"Tergantung bagaimana?" tanyanya yang seketika membuatku tersadar dari lamunanku dan segera membuang pandangan.
Ah sial! Sepertinya dia tahu barusan aku menatapnya terlalu lama. Kurasa mulai sekarang aku harus menjaga mataku untuk tidak menatapnya.
"Ya… tergantung, maksudnya kalau kita memang ada kecocokan, kenapa harus pisah?"
Bodoh! Kenapa malah kalimat seperti itu yang kulontarkan? Itu kesannya jadi--seperti aku memang sungguh-sungguh berniat jadi istrinya. Padahal kan enggak gitu!
"Kalau gitu mulai sekarang kamu harus belajar untuk nutup aurat." ucapnya masih dengan aksen datarnya. Apa dia bilang? Baru juga kenal sudah nyuruh-nyuruh aja! Kayak aku bakal nurut aja!
"Kok jadi ngatur-ngatur sih, ya suka-suka aku lah rambut juga rambut aku." jawabku sinis.
"Kamu lupa kalau kamu itu calon istri saya?"
Aku tersenyum tipis, "baru calon kan?"
"Kalau kamu sudah jadi istri saya, nggak akan saya biarkan kamu keluar rumah tanpa mengenakan jilbab." tandasnya.
Aku benar-benar kesal padanya. Belum apa-apa sudah berani mengeluarkan ultimatumnya. Jangan-jangan selain dosen, dia juga merangkap sebagai psikopat! Aku harus waspada!
"Papa kamu meminta kamu untuk ikut dengan saya beli cincin pernikahan. Jadi, besok pagi saya jemput kamu di rumah." What?! Mama dan papa minta aku pergi bareng dia? Nggak salah?
Sebelum mulutku sempat menyumpah serapahinya, dia lebih dulu berkata, "kalau mau protes bukan sama saya, saya hanya mengikuti permintaan ayah kamu."
Aku kicep dibuatnya. Dan setelah mengatakan itu, dia pergi begitu saja, meninggalkanku yang masih mengumpatinya dalam hati.
***
Next gak?
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Dosen
Romance[Romance - Spiritual] "Aku mencintaimu Mas, teramat sangat mencintaimu. Tapi mungkin cintanya kepadamu lebih besar daripada cintaku untukmu. Maka menikahlah dengan dia." -Annisa Azzahra- "Aku sudah mengakad dirimu, dan pada saat i...