4. Maafkan Aku

300 45 27
                                    

Bismillah, selamat membaca...

***

"Saat penyesalan tiba, menangispun terasa percuma"
~Annisa Az-Zahra~

***

Kepalaku terasa berat. Mataku terasa enggan terbuka. Perutku masih sedikit mual. Terdengar suara-suara familier di sekitarku. 

 "Alhamdulilah kamu sudah bangun Sayang," ujar Mama sambil beranjak memelukku.

Aku nggak tahu kenapa semua orang di sini matanya pada sembab, seperti habis menangis? Mama, Mas Adit, Mbak Rika semuanya memandangku iba. Eh...tunggu kemana Papa? 

 Kenapa semua orang memandangku iba, penuh rasa khawatir? Apa yang terjadi? Lantas ingatanku kembali mengingat kejadian-kejadian semalam. Aku bertengkar dengan Papa, menyanggupi membawa calon sendiri ke rumah, kemudian pergi dari rumah, ke rumah Ardi, club, minuman beralkohol, dan mabuk! Astaga! Apa semua orang tahu kalau semalam aku di club lalu mabuk? 

 "Apa yang kamu rasakan Sayang, masih pusing?" tanya Mama sembari mengecup puncak kepalaku.

Aku mengangguk, "Sedikit Ma, si-siapa yang membawaku pulang Ma?" karena seingatku semalam memang ada seseorang yang memanggilku dan menangkap tubuhku sebelum aku pingsan.

Mama menyusut sudut matanya yang basah, "Amanda, katanya teman sekolah kamu, katanya dia kebetulan ada di sana."

Oh Amanda, dia memang teman satu sekolah, beda kelas. Sesaat kemudian perutku bergolak lagi, cepat-cepat aku berlari ke kamar mandi. 

 Hoek… Hoekk… 

 Aku memuntahkan cairan kuning itu lagi. Sudah cukup, jangan muntah lagi. Capek. Kepalaku pusing. Kulihat pantulan bayanganku di cermin kamar mandi. Astaga! Mukaku pucat seperti mayat hidup. Keningku berkeringat. Mama menyusulku ke kamar mandi.

"Sudah Sayang? Masih mual?" tanya Mama khawatir.

"Sudah Ma." Mama menuntunku kembali ke kamar. Mama menatapku cemas. "Dit, coba kamu periksa adik kamu lagi. Mama khawatir, apa dia benar-benar tidak apa-apa?" kata Mama pada Mas Adit. 

 "Ma Nisa nggak papa sekarang, ngapain diperiksa-periksa segala, kaya orang sakit aja." tolakku.

Tapi Mas Adit tidak mengindahkan ucapanku. Mas Adit tetap memeriksaku.

"Nisa nggak Papa Ma, Mama nggak usah khawatir. Dikasih minum teh anget sama makan aja Ma." kata Mas Adit laporan pada Mama.

Wajah Mama menggambarkan kelegaan "Nisa makan dulu ya, bubur gimana? atau mau makan apa, biar Mama bikinin?" tawar Mama.

Aku mengangguk, aku memang lapar, dari semalam nggak diisi apa-apa selain cairan berwarna kuning itu.

"Bubur aja Ma." jawabku.

"Kamu oleskan minyak angin ini di perut ya, supaya nggak mual lagi. Mama bikinin bubur bentar." kata Mama sebelum pergi. 

 Kini giliran Mbak Rika yang menghampiriku. Mbak Rika langsung memelukku erat dan kudengar juga menangis tertahan. Tapi Mbak Rika sudah mengusap air matanya sebelum terlihat olehku.

"Kamu baik-baik aja ya Nis, jangan lupa makan. Mbak keluar dulu ya." katanya sembari mengecup keningku.

Aku mengiyakan. Mbak Risa tersenyum padaku sebelum beranjak pergi. Aku hanya memandangnya bingung, nggak mengerti. Kenapa pagi ini semua orang memelukku sambil menangis? Dan kemana Papa? Kok nggak kelihatan? Biasanya Papa yang akan jadi orang pertama memarahiku kalau tahu aku sampai mabuk seperti semalam.

Married with DosenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang