"Papa beneran minta Nisa untuk ikut dengan dia pergi beli cincin, besok?"
Setelah kepulangan Bima sekeluarga, aku menanyakan kebenarannya langsung ke papa. Siapa tahu kan, dia cuma mengada-ada aja supaya bisa jalan sama aku. Papa yang tengah senderan di sofa, menegakkan tubuhnya kembali.
"Dia siapa Sayang, yang jelas dong kalau nanya?" jawab papa sembari tersenyum mencurigakan.
Aku tahu papa sedang menggodaku, dan aku hanya mengerucutkan bibir merespon godaanya. "Bima Pa, siapa lagi." jawabku kesal.
"Jangan Bima, Bima aja Nisa. Masa manggil calon suami kayak manggil tukang cilok aja depan gang." tegur papa sembari senyam-senyum.
Sepertinya papa lebih banyak tersenyum malam ini. Syukurlah, semoga saja salah satunya itu karena aku.
"Terus Nisa harus manggil apa dong, Pak gitu kerana dia dosen?" ucapku asal.
Papa terkekeh melihatku yang tengah kesal. "Ya nggak Pak juga dong Sayang, panggil dia mas, mas Bima gitu."
Aku bergidik mendengar papa memintaku memanggilnya 'Mas'. Melihat wajah datarnya saja sudah cukup membuatku mengumpat.
"Kenapa bergidik seperti itu?" tanya papa
"Geli, Nisa nggak mau ah. Panggil nama aja kan bisa, Pa." tolakku halus.
"Nggak boleh gitu Sayang, kamu harus menghormatinya, dia kan calon suami kamu,"
Sepertinya papa sudah menjadikan 'calon suami' sebagai senjatanya lagi.
"Masih calon kan Pa, kan belum jadi suami. Nanti aja kalau udah sah baru aku panggil dia Mas." Aku mulai bernegosiasi dengan papa.
"Hus! kamu ini, nggak boleh gitu. Malu sama orang tua nak Bima, ntar dikira kami nggak ngajarin kamu lagi." tegur mama yang mendadak muncul dari ruang tengah.
Aku hanya bisa menghela napas pasrah.
"Curang, dua lawan satu." gerutuku. Dan mereka tertawa-tawa renyah bahagia.
***
Keesokan harinya aku bangun pukul tujuh pagi, bukan bangun sih, lebih tepatnya dibangunin mama dengan paksa. Mataku terasa berat, enggan terbuka, karena semalaman aku sibuk memikirkan nasibku yang akan segera menikah dengan pria sombong nan datar itu. Tapi anehnya, sudah nggak ada air mata lagi. Semalam adalah pertama kalinya aku nggak menangis semenjak adanya perjodohan ini. Baguslah, aku juga capek nangis-nangis terus.
Mama bilang, Bima sudah menunggu di ruang tamu bersama adiknya. Apa dia sudah gila? Sepagi ini dia sudah ada di rumah? Emang kata siapa aku mau ikut, main jemput anak gadis orang aja!
"Ma, Nisa masih ngantuk. Nisa nggak usah ikutlah, cuma nyari cincin aja kan?" ucapku dengan mata masih rapat terpejam.
Sungguh aku masih sangat ngantuk sekarang. Lagipula tu orang datang nggak inget waktu, ini masih pagi buta! Mereka nggak tahu apa jam bangun tidurku itu jam sembilan?
"Jangan gitu dong Sayang, nggak enak kan sama mereka, nak Bima itu anaknya sibuk banget loh, dia aja yang sibuk masih bisa luangin waktu untuk ke sini jemput kamu. Masak, kamu yang cuma tinggal mandi sama siap-siap aja susahnya minta ampun." bujuk mama.
"Ya udah iya, ini Nisa bangun." kataku pada akhirnya. Dengan langkah malas aku bangkit menuju kamar mandi dan kemudian siap-siap.
Nggak sampai setengah jam aku udah siap dengan dress biru muda dengan panjang selutut. Baru juga mau ambil tas, mama masuk kamar dan langsung berkata, “kamu mau pergi dengan baju itu nak?”
Aku memutar tubuh di depan cermin. “Iya, emangnya kenapa, bagus kok Ma,” jawabku.
Mama mendekat dan kemudian memeluk pundakku, “iya bagus, tapi untuk dirumah aja, nggak cocok untuk dipakai keluar, ganti ya, mama pilihin, yang lebih tertutup.”
“Nisa nggak mau Ma, orang cuma Bima kok, biasanya juga Nisa keluar rumah gini-gini aja Mama juga nggak papa. Udah deh Ma, kasian mereka nunggu di bawah, Nisa berangkat dulu ya, dah Mama,” ucapku melarikan diri.
Sebenarnya aku memang sengaja berpakaian seperti ini, bukan untuk menggodanya, tapi untuk membuatnya kesal dan jengah. Dengan begitu aku berharap dia akan membatalkan perjodohan ini, karena aku bukan calon istri baik-baik yang selalu patuh pada suaminya.
Sesampainya di ruang tamu, aku cukup terpukau dengan penampilan Bima kali ini. Penampilannya terkesan santai dengan kemeja pendek warna navy dipadukan dengan celana chino warna hitam.
Perpaduan yang pas sekali. Pandanganku bergeser ke sosok perempuam muda, cantik, berhijab yang duduk di samping kanan Bima, yang kuyakini itu adik perempuan Bima yang masih SMA. Itu aku tahu dari mbak Rika yang telah menceritakan sedikit-banyak tentang keluarga Bima.
Tanpa basa-basi aku langsung mengajak mereka pergi dengan alasan takut macet kalau kesiangan.
***
To be continue
KAMU SEDANG MEMBACA
Married with Dosen
Romance[Romance - Spiritual] "Aku mencintaimu Mas, teramat sangat mencintaimu. Tapi mungkin cintanya kepadamu lebih besar daripada cintaku untukmu. Maka menikahlah dengan dia." -Annisa Azzahra- "Aku sudah mengakad dirimu, dan pada saat i...