quīnquāgintā tres

8K 816 1K
                                    


"Kamu ke Oslo nggak bawa apa-apa?"

"Buta apa gimana? Ini tas nggak lo anggep?"

Adara ketawa kecil. Tapi sorot matanya terlihat berat. "Itu tas samping kecil. Kamu nggak bawa apa-apa."

Kafka nggak menyaut.

"Kak,"

"Apa?"

"Kok perasaanku nggak enak ya kamu pergi?"

Kafka menoleh, wajahnya terlihat kaku.

"Nggak papa. Nggak jadi."

Kafka diam.

"Cuman perasaan aku aja kayaknya."

Perjalanan ke bandara diisi saling diam. Sampai saat akan turun dari mobil yang terparkir, Adara menatap Kafka sejenak. Dipandanginya wajah cowok itu dari samping. Terlihat tenang, mendominasi, dan dingin.

Jika dulu Kafka seperti buku terbuka tapi dengan bahasa yang tidak bisa Adara baca, detik ini Kafka seperti kepingan puzzel yang acak dan Adara perlu mencari tau untuk semuanya menjadi jelas dan satu.

"Udah puas ngeliatinnya?"

"Belum..."

"Lima hari doang." Kafka menoleh.

"Lama nggak si ituuuu?"

"Kalo dulu si cepet banget. Tapi sekarang lumayan."

Adara senyum. Jemarinya terjulur ke sisi pipi Kafka yang masih ungu. Menoel-noel pelan. "Kamu yakin dateng dengan muka kayak gini?"

"Iya."

"Nggak lucu lho, Kak."

Kafka cuman angkat bahu. Disusul Ramon udah keluar karena tau Kafka dan Adara membahas hal lebih lanjut. Kafka bersiap turun, meninggalkan Adara sampai ditahan oleh perempuan itu. "Mau ini?"

Gerakan Kafka membuka batal. Ia menoleh ke belakang, mendapati perempuan itu menjulurkan sesuatu.

Permen.

"Kamu keliatan gugup banget. Kenapa? Kalo kerjaan nggak mungkin."

"Emang."

"Terus kenapa?"

"Mau ketemu Aned. Bingung jelasinnya."

Oh! Adara ketawa kecil. Bukan karna mau bertemu kolega dengan wajah ancur begini, tapi karena Aned.

"Biar aku aja," Adara senyum. "Nanti aku bantu bilang ke Aned, jelasin muka kamu kenapa."

Kafka tertawa kecil. "Makasih ya?"

Adara terdiam, nggak tau kenapa ia justru pengen menangis sekarang. Ingat saat dulu kesibukan Kafka apa dan cowok itu menjawab mengerjakan tugas akhir. Ketika Adara mengatakan semangat, cowok itu berkata makasih, ya.

Hal kecil banget tapi masih terdengar luar biasa di telinganya. Apalagi dulu Kafka selalu menolak apapun bentuk interaksi yang bisa menarik mereka untuk kenal lebih dekat. Dan malam itu saat di mobil, untuk pertama kalinya Adara bisa tau Kafka itu apa.

Bahkan kalau dipikir, mereka udah lebih dari itu detik ini. Adara bisa masuk kehidupan Kafka. Seperti dulu.

"Adara."

"Ya?"

Jemari Kafka kini memainkan rambut Adara. "Nggak usah dipotong. Biar gini aja."

"Kenapa? Biar bisa dimainin?"

"Nggak gitu juga."

"Terus?"

"Nggak ngerti. Seneng aja liat rambut lo panjang."

Changed | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang