"Kaf! Kafka!"Lara menepuk-nepuk pipi cowok yang keringatnya bercucuran. Napasnya pendek-pendek dan berat. "Kaf! Kafka!"
Lara masih menepuk beberapa kali, sampai ia bernapas lega saat Kafka membuka mata. Diiringi bangun dari tidur. Pandangan cowok itu liar dan ketakutan. Hal yang jarang terjadi. Disusul cowok itu memegang kepalanya yang nyaris meledak.
"Kenapa? Mimpi buruk?"
Kafka mengangguk tanpa sadar. Mimpi yang selalu melemahkan cowok itu. Bahkan teriakan Adara masih terniang kuat di memorinya.
"Minum dulu." Lara mengambil gelas berisi air mineral. "Nggak ada obat aneh-aneh kok. Minum gih."
Kafka mendorong gelas itu menjauh.
"Kamu mimpi apa si?"
Kafka tatapannya liar dan tajam. Sadar, karna ia tidak bisa pergi dari semua ini. Harusnya Kafka tau. Sejauh ia berlari dan tidak peduli, cowok itu memang harus kembali ke Adara.
"Bangun dulu yuk? Terus minum obat dulu, deh."
"Baju gue lo kemanain?" Suara Kafka terdengar serak.
"Eh? Baju? Aku taruh di tempat kotor."
"Gue nggak ada baju lagi."
"Iya maaf."
Lara milih natap bubur di nakas. Mengabaikan Kafka yang marah karna semalam ia melepas nyaris semua baju cowok itu. "Aku ada cadangan baju kamu di lemari aku, Kaf."
"Kamu mandi dulu, deh. Nanti sarapan sama aku. Aku bantu siapin baju kamu juga."
Kafka langsung beranjak, ingin segera pergi dari sini. "Ke mana?" tahan Lara. "Minum obat dulu. Jangan egois sama badan kamu."
Kafka mencari ponselnya. Menyuruh Ramon mengirim pakaian secepatnya dan ia bisa segera pulang. Tapi sialnya ia nggak menemukan benda itu.
"Mau lawan aku butuh energi. Minum obat dulu, baru ke kampus."
Jujur aja, kepala Kafka masih pening dan pusing. Badannya juga nggak enak. Ditambah mimpi itu.
Mimpi itu. Berpadu dengan mimpi aneh di saat semua menatap Adara seolah hama yang harus dihancurkan.
"Yuk makan."
Lara ngerti Kafka belum pulih jadi harus makan. Tapi cowok itu pasti nggak mau kecuali makanan yang bisa langsung ditelen; bubur, jadi Lara rela bangun jam lima. Mencari bahan dan memasak hingga jam enam pagi, bubur itu telah siap untuk dimakan Kalingga.
"Mau aku anterin ke kantor atau kampus?"
"Ada sopir, kalo lo lupa," kata Kafka dingin.
Meskipun pucat dan lemah, cowok itu tetap galak. "Kamu itu tipe aku banget." Lara senyum. "Bikin panas dingin. Kamu dispenser ya?"
"Kamu mikir nggak si. Kamu sama Anhara itu apa? Suami Istri? Tapi emang semua mau dukung kalian?"
Kafka diam.
"Aku udah nduga, semua keluarga kamu nggak tau soal ini 'kan? Aku nggak bisa bayangin. Gimana kalo semua tau."
Kafka nggak bayangin juga mengerti.
"Nggak bayangin jadi apa keluarga besar kamu kalau tau kamu sama Anhara. Pasti mereka malu. Dia itu musibah."
Kafka tidak tinggal diam. "Lo nggak tau apa-apa, Lara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Changed | ✓
Romance"who will fix me now?" Kita yang saling menggenggam erat pada lingkup gelap tidak berujung. Ingin menarik, memiliki. Tapi eratnya menyakiti semua, di saat kita tahu kita bukan siapa-siapa. Ingin bersatu yang akhirnya melebur pada kalimat ingin meng...