trīgintā novem

9.3K 1K 1.5K
                                    


"Aned mau ke mana lagi?"

Adara duduk di kursi penumpang, dengan Kafka yang hanyut pada ruas jalan di hadapannya. Aned duduk tenang di belakang sambil menatap hujan yang jatuh di kaca jendela mobil.

"Aned? Aned mau makan?"

Tersadar, Aned berkata ceria. "Mauuuu. Aned ingin la boulette de viande," cengirnya.

"Apa?" Adara bingung denger bahasa asing itu. "Aned ingin apa?"

"La boulette de viande," ulang anak itu riang. "Ya? Boleh ya?"

Adara melihat Kafka meminta bantuan. "Kak? Aned tadi bilang apa ya? Dia pengen apa tadi? La bou? Cari di mana?"

"La boulette de viande," kata Kafka.

"Iya itu..." Adara mengangguk. "Itu makanan apa?"

"Bakso."

Adara mengerjap. Oh bakso. Akhirnya hanya menertawai dirinya sendiri. Ia harus belajar bahasanya Aned, agar tahu.

"Bakso Pak Mamat yuk, Kak?" ajak Adara. "Tapi kamu mau nggak makan di pinggir jalan?"

Kafka nggak jawab karena emang nggak perlu dijawab. Cowok itu lebih fokus ke depan. Jemari kuat kirinya mencengram roda kemudi dengan tenang. Dan semua itu menarik Adara tanpa sadar. Gimana ya jelasinnya? Kafka terlihat menarik malam ini. Nggak si, Kafka selalu menarik dari pembawaannya. Dengan kaus hitam membalut badannya, dengan rambut cowok itu yang acak-acakan dan gimana saat jemari kuat dan panjang cowok itu menggosok rambutnya hingga berantakan.

"Mau bakso." Suara Aned terdengar lagi. Menyadarkan Adara. "Bakso, bakso."

Adara memutar badan sedikit ke belakang. "Aned mau bakso mercon?" tanyanya ceria.

"Apa itu?" heran bocil itu. "Mercon?"

"Um, bakso gitu, tapi kalau mercon kan pedas banyak sambalnya. Nanti di Bakso Pak Mamat, ada yang varian keju, seafood, jamur dan lain-lain. Mau?"

"Mau! Aned mau! Aned mau Bakso Pak Mamat hihihi."

Adara tertawa. Jemarinya terjulur ke belakang, seolah ingin memeluk Aned tapi terhalang jarak, akhirnya Aned yang paham menyambut uluran tangan Adara dengan genggaman jemari mungilnya.

"Jadi nanti makan bakso ya?"

Adara senyum. "Iya..."

Sebelum akhirnya suara Kafka terdengar.

"Gue nggak main-main sama yang gue omongin ke elo."

Adara senyum pada Aned. Pegangan itu lepas. Kini Adara fokus pada Kafka yang masih konsen ke jalanan.

"Yang soal kemaren."

"Yang mana?"

"Soal hidup lo."

"Maksudnya?" Kepala Adara miring dikit. Heran. "Idup aku yang mana?"

"Lupain semuanya, Adara," Kafka melirik spion tengah sebelum menoleh melihat spion kiri dan kembali melihat depan. Tapi Adara tahu cowok itu serius. "Apapun yang buat lo bingung. Lupain."

Sadar Aned nggak perlu dengerin obrolan ini, Adara noleh belakang. Dan ia lega mendapati anak itu fokus ke jendela, melihat rintikan yang menempel dingin di kaca.

"Aku selalu coba lupain. Aku coba nggak peduli." Tapi gara-gara mimpi dan semua pertanyaan aku karena orang itu, aku penasaran. "Tapi nggak bisa, Kak..."

"Maaf—" Aned bicara. "Aned potong bentar."

Adara melihat belakang, wajah heran melihat Kafka berubah jadi senyuman melihat Aned. "Ada apa, Aned?"

Changed | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang