septuāgintā novem

10.2K 927 1.6K
                                    


Adara tidak pernah sebersyukur dan menikmati hidupnya kecuali malam ini.

Semua beban mengganjal di hatinya mulai luruh dan hancur seketika. Menyisakan puing-puing yang tinggal ia buang agar bersih sampai ia tidak mudah goyah karna ucapan buruk orang lain tentang dirinya.

Adara mengeratkan bedcover di dadanya saat suhu dingin kamar yang remang menyisakan lampu kuning di sudut ruangan masuk dan mengenai tubuhnya yang tanpa apa-apa.

Dan kini matanya tidak lepas dari cowok yang tidur miring menghadapanya. Kafka.

Cowok itu terlihat tenang, damai, tidak terganggu oleh apapun. Adara senyum dari jarak dekat melihat cowok itu.

Ya Tuhan...

Adara merasakan semua ini masih mimpi. Ia mengerjap, menatap Kafka yang selalu menarik bahkan tanpa cowok itu tunjukkan kepada siapapun. Pembawaanya, cara bicaranya, dan ketenangan serta kebaikanya yang jujur, membuat jantung Adara berpacu berkali lipat.

Dalam kerjapan lamban, Adara memberanikan diri menujulurkan jemari dinginnya ke dahi Kafka pelan-pelan, memainkan anak rambut cowok itu. Lalu Adara senyum.

"Sayang Kak Kafka..." Adara bergumam sendiri.

Kali ini ia mengusap dahi Kafka yang masih terasa demam. Lalu menyusuri tulang hidung, makin turun dan turun, hingga berakhir di bibir dingin Kalingga Kafka Mangkualam.

Adara tidak tau, dulu gimana caranya ia bisa berakhir dengan Kafka. Gimana cowok ini bisa tertarik padanya. Gimana semua bisa tidak masuk akal hingga Kafka bisa bersamanya.

Tapi apapun itu, album yang Adara bawa setidaknya menjawab pertanyaannya selama ini. Adara tiba-tiba terasa sesak oleh serbuan perasaan lega di dadanya.

Boleh kan, kalau Adara bersyukur memiliki Kafka di hidupnya?

Boleh kan, kalau Adara bersyukur memiliki Kafka di hidupnya?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Lo serius mau pindah?"

"Yap."

"Adevaa, lo nggak main-main? Pindah tempat tinggal sama aja lo putus kuliah."

Adevaa memilih memasukkan beberapa benda yang tidak boleh ketinggalan ke dalam kopernya. Salah satunya obat penenang. "Gue bingung."

"Bingung kenapa? Lo bisa jelasin ke gua."

"Soal Adara yang lo permaluin?"

Adevaa akhirnya jatuh ke lantai dan nyaris menangis. "Gue dulu benci banget sama dia."

"..."

Adevaa memukul dadanya. "Sesek banget, rasanya Marina. Sakit banget..."

Marina berjongkok, menggenggam tangan temannya itu. "Adevaa." Kemarahan Marina surut, berganti kasihan.

Changed | ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang