s.a.t.u.

618 24 1
                                    

“Humaira, kau percaya tidak bahwa jodoh itu Allah yang menentukan?”

Ucap Adam terhadap adiknya, Humaira sambil memandangi semut-semut yang tengah berjejer rapih mengangkut makanan ke sarangnya. Saat itu mereka tengah beristirahat siang selepas berkelana mencari buruan untuk makan malam. Memang, sudah menjadi tradisi bagi Suku Dandelion untuk berburu hewan-hewanan dan bercocok tanam guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Hanya bermodalkan alat panah atau pisau yang terbuat dari batu-batuan, mereka biasa membawa pulang ikan, kelinci atau ayam hutan. Jika beruntung, rusa pun bisa menjadi santapan yang lezat.

“Menurut aku, Allah akan mempertemukan kita dengan seseorang itu disaat yang tepat. Disaat Allah rasa kita udah siap. ” Humaira, gadis berumur tujuh belas tahun itu terlihat ikut memandangi ke arah semut-semut itu.

“Menurutmu, kapan Allah fikir kita sudah siap?”

Alis tebal Humaira bertautan. Ia berfikir keras. “Hmm kapan ya, Kak?” kemudian ia tersenyum, “Yang aku tahu, memperbaiki diri itu adalah pasti. Soal kapannya, itu rahasia Allah.”

“Wow, sudah dewasa kamu rupanya. Sepertinya malah kamu lebih dewasa dari Kak. Hahaha..” tukasnya sambil memandangi wajah polos Humaira. Adam, lelaki berumur 24 tahun itu memang sangat memanjakan adiknya.

Humaira memandangi wajah Adam dengan alis berkerut. “Jadi selama ini aku kekanak-kanakan? Gitu? Kakak jahat ah!” bibirnya manyun 5 senti. Pandangannya lalu terlempar kearah dedaunan yang terjatuh dari pohon yang ia gunakan untuk berteduh.

“Ya ampun kau terlihat merajuk.” Adam mengulum senyum seraya mencubiti pipi Humaira. “Kau tahu tidak? Kalo marah, nanti yang nemenin setan. Ih serem!”

“Iya aku tahu! Janganlah kamu marah dan bagimu syurga. Iya kan? Huh. Aku gak marah kok, tapi ngambek.”

Adam beranjak berdiri dari duduknya, kakinya kesemutan. “Ah sama aja.Tuh nada suaramu aja kedengeran marah begitu. Nanti aku ngga mau ngajak kamu berburu lagi kalo gitu.”

“Ah Kak Adam menyebalkan!” ujar Humaira sambil memandangi Adam yang menghentak-hentakan kakinya. “Kak Adam kakinya kesemutan ya?”

“Iya nih. Kelamaan duduk kayaknya. Yaudah yuk Ra, kita pulang. Ibunda pasti sudah menunggu.” Jawab Adam, matanya memandangi langit yang memerah diufuk barat. Humaira memandangi abangnya dengan pandangan kesal. Tangannya terulur, minta ditarik.

“Huh, punya adik satu kok ngerepotin gini.” jawabnya sambil menyeringai kuda dan segera menarik tangan yang diulurkan Humaira. Gadis itu langsung komat-kamit kesal.

Separuh perjalanan pulang sudah ditempuh. Kali ini mereka menggunakan jalan pintas. Bukan rute yang biasa mereka lewati. Seperti yang dibilang orang, jalan singkat biasanya dipenuhi tantangan. Entah semak belukar, batang yang bentuknya menyeramkan, atau bahkan hewan buas. Tapi tidak bagi Adam, ia begitu pemberani dan baginya jalan pintas itu justru menyingkatkan waktu dan selama ini, ia tak pernah mengalami apa yang dikatakan penduduk.

“Kakak, yakin nih jalannya selamat?” Humaira tampak panik melihat sekelilingnya yang sudah dipenuhi oleh semak-semak dan pepohonan yang besar dan tinggi.

Adam memandangi wajah adiknya dengan tenang. “InshaaAllah aman, sayang. Kakak udah sering kok lewat sini.” Kali ini ia meraih tangan adiknya yang terbiar sedari tadi. “Maafin Kakak ya, tadi lupa gandeng tangan kamu.” Humaira mengangguk pelan. Setelah yakin mendengar assurance yang diberikan abangnya, hatinya menjadi sedikit tenang.

Mereka banyak membaca doa perlindungan agar sentiasa dilindungi oleh malaikat-Nya. Dalam suasana seperti itu, hanya perbanyak zikir yang dapat membuat hati tenang dan bening. Sekitar lima belas menit perjalanan, Humaira meminta berhenti sebentar. Ia lelah dan kehausan. Adam kemudian membuka tas bekalnya dan memberikan botol air yang terbuat dari tanah liat. Terdengar suara jangkrik yang semakin nyaring, kicauan burung dan kepakan sayap yang bergegas kembali ke sarangnya masing-masing tanda hari sudah semakin petang.

“Yap! Tinggal lima belas menit lagi kita sampai rumah. Kamu jangan khawatir ya.”

Humaira melihat wajah Adam yang berpeluh deras. “Iya Kak-” kemudian matanya beralih ke sesuatu yang terletak disamping sungai. “Oh iya Kak, itu apa ya disana?” kini telunjuknya ikut mengarah keonggokan karung berwarna hitam, tepat beberapa meter dibawah lapak mereka berdiri, yang disampingnya adalah sungai.

“Kakak tidak tahu, Maira. Ayuk pulang. Rasa keingintahuan yang terlalu tinggi bisa membawamu ke arah petaka.”

Kening Humaira mengernyit. Ia tak percaya. Seakan dihasut oleh makhluk-makluk gaib di hutan itu, kakinya berjalan, turun dan tanpa henti hingga sampai didepan oggokan itu. Adam hanya bisa menggeleng dan meneriaki dari jauh agar Humaira berhati-hati.

“Kak! Kak! Sini” ujarnya tanpa bersuara, tangannya tanpa henti mengkibas-kibaskan agar Adam berjalan. Adam mendecak. Ia paling tak suka mencampuri hal-hal yang bukan urusannya. Apalagi menguak misteri karung hitam seperti ini.

Kedua manik mata itu memandang benda yang kini terlihat naik turun. Seolah mengatakan bahwa karung didepannya berisi makhluk hidup.

“Kak, aku rasa ada hewan didalamnya.” Kali ini tangan Humaira menyentuh permukaan benda itu.

Adam memandangi ekspresi khawatir Humaira dengan alis bertautan.  Sangat jarang ada hewan yang dibuang ditengah hutan seperti ini. Kalaupun ia adalah hewan tumbal, penduduk Dandelion akan menyajikannya untuk Gunung Fatlanta, yang memang masih aktif dan sering mengeluarkan abu vulkanik – ciri gunung akan meletus. Memang, pengetahuan Islam dan penyebarannya masih sangat sedikit di daerah ini. Kebanyakan dari mereka adalah atheis. Jadi hal-hal mistis masih agak common. Namun, alhamdulillah, Adam dan sekeluarga masih diberi nikmat Islam turun temurun dari nenek moyangnya.

Lelaki bertubuh atletis dan berkulit langsat itu langsung meraih ujung yang mengikat karung hitam itu kemudian membukanya. Betapa terperangahnya mereka saat memandangi sosok tubuh yang penuh luka dan rambut pirang tergerai. Bajunya terlihat seperti anak bangsawan, bahannya terbuat dari sutra, kalungnya pun terlihat seperti mutiara. Tapi kali ini lusuh dan penuh darah.

"Astaghfirullahalazim." mereka berdua beristighfar berbarengan.

“Kak, aku rasa ia dibunuh.” lanjut Humaira kembali berasumsi, tangannya diletakkan didagu, ala ala detektif.

“Tidak, Maira. Ia belum mati.” Adam mendekat kearah hidung perempuan itu. Ada nafas yang berhembus. “Kau bisa menggendongnya tidak?” sahutnya kemudian.

“Kak, mana mungkin aku—“

Adam kemudian memutar bola matanya dan menjawab “Haish. Abaikan kata-kata Kakak.” Sembari meraih tubuh lemah yang tengah tergeletak tak sadar diri dan meletakkan dipunggungnya.

Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui maksud hamba-Mu ini. Hamba tak ada niat apapun. Hanya menolong.

Baru kali ini Adam menyentuh perempuan yang bukan muhrim. Berkali-kali ia merutuk dalam hati atas pertemuannya dengan makhluk dalam karung itu. Seandainya ia tak membukanya, mungkin ia tak perlu terlibat dosa yang ambigu. Tapi mungkin, ada hikmah yang Allah bagi disetiap pertemuan. Toh ini semua Allah yang mengatur.

“K-kas?? Kak Adam mau gendong dia?”

“Lalu, apa sebaiknya kakak tinggalkan dia disini?” kemudian berjalan menaiki rute yang dilalui tadi. Humaira bingung. Dalam keadaan seperti ini, mau tak mau abangnya harus menggendong. Keadaannya memang berbeda.

Kalau darurat tidak apa-apa, kan? Batin Humaira khawatir.

“Ayo Humaira, sampai kapan kau akan bengong disitu?” tukas Adam sambil memandangi adiknya yang memang tak bergeming memandangi punggung Adam yang sudah beranjak dari tadi.

“Iya, Kak!! Ayo pulang! Kita beri obat untuknya!”

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang