Setelah mendengar pernyataan “penolakan” yang secara tidak langsung dari Adam kemarin, Galea menangis sejadi-jadinya sesampai dirumah. Tanpa mengatakan satu patah katapun kepada Humaira yang saat itu terperangah melihat wajah sembab gadis Ottomere itu, ia terus beranjak kekamar dan mengambil selimutnya kemudian meringkuk mencoba tertidur. Tetap saja usahanya gagal disebabkan matanya yang bergelimang air mata.
Galea memutuskan untuk segera mengubur dalam-dalam perasaannya. Menanggung rasa cinta bertepuk sebelah tangan untuk lelaki sedingin Adam rasanya menyakitkan. Ia rasa tak akan sanggup meIakukannya lama-lama. Apalagi setelah dihina, bukan dihina sih, namun diburuk-sangkai oleh Adam dengan mengatakan “fikiranmu yang melanglang buana” atau “menyalahartikan kebaikan” seolah-olah ia tak ada harga diri. Padahal ia hanya bertanya. Boleh saja kan, Adam menjawabnya dengan baik kalaupun ia tak punya perasaan yang sama? Untungnya gadis itu tak menyatakan cinta kepadanya. Bisa-bisa ia dibabat habis dengan kata-kata ketusnya yang menyakitkan. Mungkin saat ia pulang nanti, pulang ketempat asalnya, akan ia terima siapapun lelaki yang akan melamarnya. Yang penting lelaki itu harus mencintainya. Dan ya, gadis itu tak mau hanya sekedar ikatan sementara. Ia ingin lelaki itu utuh miliknya dan yang memisahkan hanyalah maut, bukan dengan perkataan verbal seperti “Aku mau putus”. Baginya hal itu bisa mendadak menguras air mata dan tenaganya.
“Galea, kemari.” Pagi itu, Adam sudah menunggu Galea untuk keluar dari kamarnya semenjak subuh sampai saat ini, sekitar pukul sembilan pagi. Adam yang tadinya tengah duduk di sofa ruang tamu, sekarang beranjak berdiri melihat Galea keluar dari kamarnya.
“Ikut aku.” Ia mengarahi Galea seraya berjalan menuju pintu keluar rumah.
“Mau apa?”
“Ikut saja.”
Mendengar perintah barusan, dengan lesu Galea mengikuti kemana langkah kaki Adam berjalan. Meski kesal dengan sikapnya yang menurutnya sedikit kurang sopan, gadis itu tetap saja mau tak mau menuruti kemauan Adam. Baginya, walaupun ia tak mau mengakui, sedikitnya beberapa persen rasa cinta itu masih ada.
“Kalian mau kemana?” Humaira yang sedari tadi memandangi percakapan dingin mereka menghampiri dan dengan segera mengikuti mereka dari belakang.
“Oh, nih mau ke gudang, Maira.” Jawab Adam.
Alis Humaira berkerut. “Buat apa?”
“Kita lihat nanti ya.”
Kini mereka bertiga berada didepan bangunan dengan bentuk persegi, berdinding kayu itu. Adam mengambil kunci yang ada di kantongnya dan membuka pintu itu dengan segera.
“Wow.” Bibir Galea menggumam seketika. Bukan disebabkan melihat Adam yang tengah membuka pintu. Tetapi karena suasana ruangan yang tengah ia siapkan. Gudang itu kini nampak kemas dan rapi. Lemari-lemari kosong digeser kepinggir, tak ada lagi kain-kain perca yang berantakan, ban kereta kuda yang sudah rusak, tangga bambu, berbagai macam kuali hitam yang terbiar atau potongan-potongan kayu yang tergeletak tanpa arah. Ia tak lagi bernamakan gudang. Ia lebih sesuai menjadi sebuah kamar. Ya, kamar. Apalagi dengan adanya kasur yang sekarang tergeletak rapi diatas bingkai kayunya.
Humaira membuyarkan lamunan singkat Galea. “Kak Adam, bagus sekali! Gudang ini jadi rapi. Ini buat siapa?”
Adam memandang Humaira sekilas, kemudian melanjutkan aktivitas sebelumnya, merapikan kasur. “Ini untuk Galea.”
Tunggu. Galea mendengar namanya disebut barusan. “Apa, Dam? Buatku?” Ia ragu dan mengulangi ucapannya.
“Ini kamar baru mu.” Lanjutnya pendek.
“Lalu, kasur siapa yang kau pakai ini, Kak?” tanya Humaira penasaran.
Adam masih bergeming tak memandang kami.”Ini kasurku. Awas saja, jangan sampai lubang ya. Kau harus menjaganya dengan baik.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Dandelion
RomanceMuhammad Adam, pemburu hutan dan juga lelaki tangguh yang taat agama secara tidak sengaja menemukan Galea Monrov, gadis yang dikira mayat tak bernyawa di tengah hutan. Disaat lelaki yang ingin menjaga kesucian hatinya di uji dengan kedatangan wanit...