e.m.p.a.t.b.e.l.a.s.

256 16 6
                                    

***Adam POV***

Saat memandangi tubuh mungil itu pergi dari pandanganku, entah kenapa, aku merasakan sesuatu berdesir didalam dada. Memandangi bulir bening yang berjatuhan  dan wajah merahnya yang penuh amarah dan kekecewaan seolah memberikan sensasi yang membuat dadaku berkecamuk. Rasa bersalahku semakin menyeruak ingin keluar. Ia tak terbendung.

Tak aku pungkiri, hasrat untuk menarik lengannya dan memeluknya erat semakin menderu.

Seketika itu aku merasa bahwa....

Aku tak ingin kehilangannya.

Berderet kata yang ia ucapkan tadi seolah menampar wajahku. Tidak. Ia tidak hanya menampar wajahku, tapi melukai perasaanku. Ada sesuatu dalam diriku yang menginginkannya tetap berada disisiku.

Namun apa yang aku lontarkan kepadanya? Aku tahu kata-kataku berkali-kali melukai perasaannya. Aku tahu ucapan yang terlanjur meluncur akan sulit ditarik mundur dan ia tak akan bisa kembali tersimpan. Aku tahu, cepat atau lambat mungkin ia akan betul-betul menjauhiku, membenciku.

Aku pun tak faham dengan apa yang aku inginkan. Sebesar apapun usahaku untuk melupakannya, semakin besar pula aku tak menginginkan kehilangannya. Sebesar apapun aku ingin mengenyahkannya dari pandanganku, sebesar itulah aku ingin memandangnya, mengintainya.

Bukankah jodoh itu cerminan? Jika pakaian kita compang camping, maka jodoh kita juga akan seperti itu? Wanita yang baik untuk lelaki yang baik dan juga sebaliknya. Bukannya aku merasa lebih baik darinya, hanya saja aku menginginkan calon ibu yang seiman, yang melabuhkan cintanya hanya untuk Dia, yang menganugerahkan rasa cinta diantara kami nanti karena-Nya.

Tapi apa yang aku rasakan ini Ya Allah? Ia bukan seorang wanita muslim dan aku rasa aku telah melakukan suatu kesalahan yang besar.

Aku sudah jatuh cinta padanya.

Baru kali ini juga aku melihat Humaira memarahiku sedemikian rupa. Ia bilang aku lelaki tak punya hati, tak berperasaan, dan macam-macam lainnya yang aku tak ingin mengingatnya. Dan ini membuat perasaanku semakin berkecamuk. Ia memarahiku seolah aku bukan lagi abangnya.

Kini aku melangkahkan kaki mencoba mencari jejak yang ditinggalkan Galea. Laluan pekarangan rumah, jalanan setapak, rumah-rumah tetangga sudah kulewati. Semuanya kosong, tidak ada batang hidungnya. Dan ya, tak lama kemudian aku telah sampai di Emsik. Seharusnya gadis itu tidak berada jauh-jauh dari sini. Entah kenapa, aku mulai berasumsi mungkin saja ia ada disekitarnya.

Kaki ku pun sepertinya tidak merasakan apa-apa, ia terus melangkah dengan laju. Rasa letihku hilang mengingat ketakutanku jika ia tak kembali lagi. Mataku dengan kalapnya memandang, menghujam keseluruh arah. Hari memang mendung. Aku rasa, langit pintar untuk mengungkapkan apa yang kurasakan saat ini. Untungnya sebelum pergi tadi aku sempat membawa dua buah payung, untukku dan untuknya.

Tiga puluh menit sudah kulalui menelusuri jalanan kecil didalam Emsik. Setiap toko yang terselubung di sini sudah kumasuki. Mungkin saja sosok itu tengah cuci mata atau lapar dan tiba-tiba duduk disalah satunya.

Hanya saja, pemandangan yang baru saja kulihat membuat amarahku memuncak.

Mataku terhenti pada sebuah rumah makan sederhana bernama Layette, kegemaran Philip dan keluarganya. Sosok itu tengah duduk dengan matanya yang memandang sahabatku, Philip lekat-lekat. Ia terlihat tersenyum dengan pipi merona. Meski kuakui, mukanya masih terlihat sembab.

Sebenarnya aku tak mau berasumsi. Aku tahu, membuat asumsi sama halnya dengan berprasangka buruk, dan sebagian prasangka adalah datangnya dari syaitan. Tapi apa aku bisa memungkiri perasaanku yang kini tercabik? Perasaan apa ini, ya Allah?

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 02, 2014 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang