s.e.p.u.l.u.h.

156 18 2
                                    

21 November 2014, Ottomere, 18:00 PM

"Maaf Pak Ketua, kami belum menemukannya!" ucap salah seorang prajurit dari Suku Ottomere dengan keringat sebesar biji jagung dan wajah yang ketakutan tertunduk. Orang yang dilaporkannya menampilkan raut wajah kekecewaan mendengar berita barusan. Ia mengurut pelipisnya perlahan. Sudah seminggu cucu satu-satunya hilang tanpa berita apa-apa. Yang ia tahu, anak lelakinya telah dibunuh beserta istri saat penjalanan mereka ke Devidas dan itu sudah cukup menjadi salah satu beban terberat untuknya. 

"Sudah kau cek ke seluruh Ottomere?"

"Sudah, Pak Ketua! Kami sudah menyelidiki seluruh pelosok Ottomere dan juga Devidas namun hasilnya--"

BRAK!

"Kalian ini tidak becus! Bagaimana mungkin gadis itu bisa menghilang selain dari dua tempat itu?!!!" tangannya menggebrak meja didepannya seraya berdiri. Namun tak lama ia terhuyung, kepalanya semakin pening dan terus merebahkan tubuh di kursi beralaskan kayu jati dengan ornamen emas dipinggirnya. "Azalea, tolong kau ambilkan obatku." pintanya terhadap istrinya yang sedari tadi menemani. Azalea segera berjalan menuju kabinet lemari disekitarnya, mengambil kantung kecil berisi serbuk halus obat-obatan herbal dan menuangkan air ke gelas bening.

"Lalu--" dengan takut-takut prajuritnya bertanya."Lalu kemana lagi kami harus mencarinya, Pak Ketua?"

Pandangan Pak Ketua menerawang ke langit-langit atap. Ia tak pernah sebegitunya merasakan pilu yang begitu dalam. Bagaimana mungkin ia harus kehilangan anak dan cucunya secara bersamaan. Kelopak matanya menggenang. Butir panas itu mengalir halus dipipinya. Ia menghela nafas sekejap kemudian memandang tajam prajuritnya tadi.

"Kau ada cadangan kah?"

Para prajurit itu saling berpandangan. Ada satu tempat yang belum lagi tersentuh oleh jelajahan mereka. Salah satunya kemudian mencoba bersuara.

"P-Pak Ketua." tangannya mengacung diudara. Kakek Roberto, nama Pak Ketua tadi memandang si empu suara.

"Ya, katakanlah."

"M-mungkin kita bisa mencoba ke daerah Dandelion. Ia terletak di sebelah selatan Ottomere."

Kakek Roberto terlihat seperti menimbang-nimbang sesuatu. Kemudian kepalanya ia anggukkan. "Baiklah, coba kau selidiki Dandelion. Mungkin. Hanya mungkin, gadis itu ada disana. Kalau tidak, aku pun tak tahu saat ini. " seraya membasuh mukanya berkali-kali dengan telapak tangannya. "Istirahatlah beberapa hari dulu sembari menyiapkan bekal perjalanan. Saya rasa kalian cukup lelah setelah menyelesaikan perjalanan dari Devidas, bukan?" tanyanya seraya meraih gelas berisi air tadi dan menegukkan obatnya.

Para prajurit itu tidak menjawab. Mereka segan menjawab pertanyaan atasannya. 

"Sudahlah, saya tahu kalian lelah. Saya pun lelah juga disini. You're dismissed." Kata-kata tegas barusan berhasil membuat prajuritnya mengedar, pergi keluar dari ruangan.

                                                                                      ***

21 November 2014, Dandelion, 18:00 PM

"Hei, kau tidak kecapean?" Galea memandangi punggung Adam yang penuh peluh.

Langkah Adam terhenti. Ia menolehkan wajahnya  "Menurutmu bagaimana? Apakah aku tak terlihat capek?" tangannya menunjuk wajahnya yang merah kelelahan.

 "Hehehehe" Galea mengumbar cengiran lebar. Adam kembali melangkahkan kakinya.

"Aku berat tidak?" gadis itu iseng saja bertanya. Ingin mencairkan suasana. Rasanya hari yang semakin gelap terasa mencekam ditambah dengan hawa dingin yang kian berhembus. Kalau tidak ada suara, rasa ketakutan akan menyeruak cepat. Tangannya yang sedari tadi memegang pinggir pelepah itu, kini beralih mengelus pelan lengannya sendiri. Suhu hutan kali ini semakin rendah. Dingin sekali. Bahkan kardigan yang menutupi dressnya saja bisa ditembus oleh angin dan menusuki kulit.

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang