d.u.a.b.e.l.a.s.

146 16 0
                                    

(Backsound: Younha - Wasted)

**Galea’s POV**

Ya Tuhan, kata-kata itu menghujam perasaanku semakin dalam.

Bagaimana bisa ia setega ini mengatakannya kepadaku?

Bagaimana bisa ia dengan teganya tak memikirkan apa yang kurasakan saat mendengar itu?

Ternyata, keberadaanku disinilah yang menyebabkan kata-kata sadis itu meluncur dengan tegasnya.

Lebih kejam daripada pembunuhan? Tidak, justru kata-katamu yang tak menghargai perasaanku saat ini adalah yang paling kejam buatku.

“K-Kak Adam!” Humaira terdengar ingin menegur kata-kata abangnya barusan. Aku segera menarik ujung baju Humaira, mencoba menghentikan kalimatnya.

"Sekarang aku faham Dam, ternyata bagimu aku tak lebih dari gadis pembuat fitnah yang tiba-tiba muncul dikehidupanmu." Mataku seketika memanas dan mulai menggenang. Hanya satu kedipan saja sudah pasti butiran bening itu terjatuh dari pelupuknya. Aku masih memandang tegas mata Adam yang kini memandangku dengan mata tercekat. Aku tak tahu apa yang ada difikirannya. Ia terlihat seperti orang yang bingung. Entah itu disebabkan oleh hati yang berkecamuk atau mungkin perasaan bersalah atau mungkin malah terkejut. Aku tak tahu dan tak mau tahu.

“Maka dari itu kau memperlakukanku seperti ini? Iya kan?” lanjutku.

Adam hanya terdiam.

“Sudah seharusnya saat kau diam dan dingin kepadaku, aku menjauhimu.”

“Bukan begitu maksudku, Galea—“

Aku menyeka air mata yang sudah mengalir. “Tapi kau tahu tidak? Jujur saja, aku telah menganggap kalian seperti keluargaku. Keluarga angkat yang kurasa sangat rapat dimana aku merasakan kehangatan disana. Disaat aku yang sudah tak memiliki orang tua lagi, disaat aku sudah kehilangan harapan dan segalanya, disaat aku merasa tak ada yang mau menerimaku, aku merasakan.... bahwa Ummi, Humaira dan juga kau, bisa menerimaku disini.”

“Dengarkan aku dulu –“ ia mencoba memperbaiki kata-katanya.

“Apalagi saat kau bercerita padaku soal Islam, agamamu. Kau begitu sabar menjawab pertanyaanku. Dan ketika itu aku berfikir, jarak antara kita mulai mencair. Tapi ternyata aku salah mengartikannya. Aku rasa–“ aku menyuplai kembali oksigen yang mulai berkurang didadaku.

“Aku terlalu berharap banyak tentangmu.”

Aku menghentikan kata-kataku lagi. Kali ini berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya untuk mengisi paru-paruku yang semakin menyempit. Aku fikir aku tak perlu mengatakan ini semua.

Kenapa mencintai seseorang yang tak mencintai kita sebegini menyakitkan?

Tanganku mengepal perlahan, mengumpulkan segala keberanian untuk mengatakan kata terakhir untuk menutupi sekaligus mengulangi kenyataan pahit yang baru saja ku dengar.

“Bagimu, aku hanyalah seseorang pembuat fitnah ya.” Aku melangkahkan kaki, mematahkan pandangannya yang tengah memandangku dengan pandangan iba atau apalah namanya. Dan berjalan menuju pintu keluar.

“Satu lagi Dam yang perlu kau ketahui,” aku berhenti tepat didepan pintu kayu itu.

Adam hanya diam tak bergeming. Aku menoleh kebelakang dan memandangi matanya lekat-lekat.

“Sebesar apapun kekesalanku padamu, aku tak menyesal pernah mengagumi seseorang sepertimu.”

Aku memegangi dadaku yang rasanya semakin sakit kemudian menyeka butiran air bening yang terus mengalir tanpa henti. Kini aku sadar, sebesar apapun rasa sayangku kepadanya, ia tak akan pernah sampai. Sebesar apapun rasa cintaku untuknya, ia tak akan pernah mencoba untuk memahaminya. Aku sadar, ini saatnya untuk menyadari bahwa aku tak pantas untuknya.  ia bahkan tak pernah menanyakan apa yang kurasakan selama ini.

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang