t.i.g.a.

204 16 1
                                    

“Galea, bolehkah kamu ke meja makan sekarang?” Ummi tengah berdiri di ambang pintu memandangi Galea yang terbaring. Mukanya masih pucat. Ummi memandanginya dengan seksama. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Tapi ianya bukan pandangan yang membuatnya risih. Melihat dipandangi seperti itu, Galea bangun dari tidurnya.

“Iya, Bibi..” Ummi terus masuk dan membantu Galea untuk duduk.

“Bagaimana kepalamu? Masih sakit?” tanya Ummi seraya memegangi kening Galea. Gadis itu menggeleng, “Sudah baikan, Bi.” jawabnya sambil mengulum senyum.

“Alhamdulillah kalau begitu. Maafkan Bibi ya. Kami sekeluarga hanya ingin mengenalmu lebih dekat. Tidak apa-apa, kan?” tanya Ummi yang disambut dengan anggukan pelan dari Galea.

Dengan langkah tertatih, Galea berjalan dibantu Ummi menuju meja makan yang kali ini sudah diisi oleh Humaira dan Adam. Humaira tampak tersenyum ramah terhadapnya. Ia tengah menggunakan gamis biru muda, dengan kerudung bermotif bunga. Sungguh terlihat manis. Kemudian bola matanya beralih memandang Adam yang tengah meruncingkan semacam tombak kayu dengan pisau bilahnya. Ia tak melirik Galea sedikitpun.

“Hai...” sapa Galea terhadap seluruh anggota rumah.

Humaira menjawab dengan salam, “Assalamu’alaikum, Galea. Selamat pagi!” Galea tak menjawab salam. Ia tak faham dengan kata-kata bahasa arab yang baginya sedikit asing. Cukup kata selamat pagi yang terdengar.

Ummi kemudian menyodorkan piring berisi telur mata sapi beserta roti gandum kearah meja Galea yang disusul oleh secangkir susu panas. “Galea, ini sarapan untukmu. Kau pasti lapar, bukan?”

Galea tampak mengangguk cepat. Ia benar-benar lapar. Sembari mengambil bagiannya, matanya terpaut oleh sosok wajah khusyuk yang tengah berdoa sebelum makan, Adam dan Humaira yang tengah duduk diseberangnya. Sepertinya ia tengah berdoa kepada Tuhannya. Indah sekali.

Merasa segan, ia meletakkan sebentar lalu meraih kembali roti gandum tersebut saat semua telah mengambil bagian masing-masing dan mengunyah perlahan. Tak lama, air matanya mulai menggenang. Ia teringat akan kejadian tiga hari sebelum ia berada disini. Kejadian yang membuatnya merasa terbuang dari keluarganya. Kejadian yang merenggut seluruh keluarganya terutama... kejadian yang perlahan mencoba menghapus wajah ayah dan ibu dari hidupnya secara paksa.

“Kau tak apa-apa, kan?” tanya Humaira dengan wajah prihatin. Ternyata sedari tadi gadis itu tengah memandangi wajah sembab Galea dan juga tangannya yang berkali-kali mencoba menangkis air matanya. Galea kemudian menjawab dengan senyum tipis sambil menggeleng. Ia kembali mengambil satu gigitan. Bulir air matanya tampak tak henti-henti mengalir. Ummi dan Adam saling berpandangan. Mereka tahu apa yang membuat Galea tertiba menangis. Namun disaat seseorang disapa oleh musibah, ada baiknya kita memberinya waktu untuk menghadapi kesedihannya, sendirian. Ummi yang sedang duduk disamping gadis itu menggapai pundak rapuhnya lalu menepuk-tepuk lembut.

“Bibi harap kau tak apa-apa, Sayang. Kau tak usah takut. Kami disini siap menolongmu.” Ucap Ummi. Lagi-lagi Galea tak bersuara dan hanya isak tangis yang terdengar. Wajar, saat umur yang masih muda, mengalami hal seperti itu tidaklah mudah.

Setelah menunggu beberapa puluh menit -menunggu Galea tenang- Ummi segera memandang kembali wajah sembab Galea.

“Bisakah kau cerita asal usulmu, Sayang?”

Galea mengangguk. Dengan suaranya yang parau, ia memulai kisahnya.

“Aku adalah anak tunggal yang lahir dikalangan orang terpandang. Bisa dibilang, ayah ku adalah pedagang yang paling sukses disana, Ottomere. Namun hari itu, saat ayahku tengah berkelana ke Devidas untuk urusan jual-beli, sekelompok orang yang katanya pesuruh dari pamanku memorak-porandakan barang dagangannya dan juga kereta kuda miliknya.” Gadis itu tampak menghela nafas. Matanya kembali berair lagi.

“- didalam kereta itu ada ayah dan ibuku. Ayahku memang sudah tua, dan ibuku yang tengah mengandung adikku memaksa ayahku agar diizinkan untuk ikut menemani. Saat itu aku ditinggal disebabkan ada kelas yang harus aku hadiri-” suara Galea mulai terdengar rapuh. Ada sayatan dihatinya yang begitu dalam. Pandangan matanya sudah kabur disebabkan air mata yang menggenang.

 “-Dan saat kembali pulang kerumah, salah satu anak buah ayahku berhasil kabur dan beliau datang membawa baju yang dipakai ayah dan juga selendang ibuku yang berlumuran darah. Ia datang kepadaku dengan berita duka itu.” Seketika tangis Galea pecah. Ia sudah tak kuasa menahan beban kehilangan orang tuanya disaat yang bersamaan. Badannya menggigil penuh pilu. Ummi dengan serta merta memeluk tubuh mungil itu dengan air mata yang ikut mengalir. Adam dan Humaira menatapnya iba. Tampak sedikit bulir air mata diujung matanya.

Ummi menarik nafas. Mencoba menyusun kata-kata yang dapat menghibur perasaannya.

“Nak, kita adalah milik-Nya dan hanya kepada-Nya lah kita kembali.” Ummi mengecup kepala gadis itu. Tangannya tak henti-henti mengusap kepalanya. “Terkadang, ada banyak cara Tuhan menunjukkan kasih sayang-Nya terhadap hamba–Nya. Salah satunya adalah dengan di berikan ujian, Sayang. Tuhan tengah mengujimu, Nak. Ia ingin melihat seberapa kuat hambanya dengan cobaan yang Ia berikan. Semoga kamu diberi kekuatan, anakku. Bibi harap orang tua mu diletakkan di tempat terbaik di sisi-Nya.” Ujar Ummi dengan suara parau. Tangannya meraih wajah Galea, memandangi sosok yang penuh luka. Tak hanya luka di hati, namun juga fisik. Humaira memandangi wajah sendu ibunya dan Galea dengan tatapan iba.

Bagaimana mungkin nasib seseorang bisa setragis itu? Baginya, orang tua adalah bagian terpenting dalam hidup. Mereka bagaikan rumah perhentian disaat hujan deras. Bagai pembuka tutup botol disaat kita dahaga. Tanpanya? Hidup kita akan serba susah. Dan untuk tumbuh dewasa tanpa hadirnya orang tua disisi? Membayangkan itu membuat hatinya rapuh.

Maka nikmat Tuhan manakah yang engkau dustakan?

Galea melanjutkan ceritanya seraya menghapus air mata yang berjatuhan. “Dan saat itu, ia memintaku untuk kabur dari rumah karena sudah pasti aku adalah incaran mereka selanjutnya. Tapi aku tak percaya. Mana mungkin secepat itu dari perjalanan ke Devidas ke Ottomere. Dan betul, pada malamnya, gerombolan itu datang. Mereka menghantam wajahku, mendorongku, memukul tubuhku sesuka mereka. Hingga akhirnya, aku pingsan. Dan saat aku terbangun, aku sudah disini.”

Mereka bertiga mengangguk-anggukan kepalanya, tanda faham. Humaira meraih pundak itu seraya tersenyum. “Kau gadis yang tangguh! Aku yakin itu. Tuhan tak membiarkanmu mati, karena Ia tahu, bahwa Ia memberikanmu hikmah dan kebaikan ketika kamu hidup. dan kau masih ada kami, Galea. Dan aku rasa, mereka tidak berniat membunuhmu. Hanya saja, kau disingkirkan sih.” Jemarinya meraih wajah itu dan menyeka air mata yang tengah menggenang. Adam menyenggol pinggang Humaira. Ia khawatir, kata-kata “disingkirkan” barusan dapat menyinggungnya. Lelaki itu mendengarkan dengan seksama. 

"Semoga kau diberikan kesabaran dari Tuhanmu, Galea." kata-kata itulah yang ternyata keluar dari hasil lamunannya. Paling tidak, Adam sudah berusaha menghibur walaupun ia tak faham apakah itu cukup menghibur atau tidak.

Galea hanya tersenyum tipis. “Aku rasa iya. Namun nasibku sedikit beruntung. Aku bersyukur karena aku dipertemukan dengan orang seperti kalian. Terima kasih.”

Adam memandangi wajah itu dengan seksama. Ia merasakan sesuatu yang ada di dadanya. Jika diberi label, mungkin kata-kata “iba” atau “kasihan” adalah yang paling tepat. Atau mungkin tidak?

----------------------------------------

11/15/2014

Hi readers, bagi yang mau kasih komen atau vote sangatlah di alu alukann... semoga suka ya. dan smoga bisa diambil manfaatnya

say no to plagiarism 

cheerss

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang