d.u.a.

269 19 0
                                    

“MashaaAllah, Adam! Kamu bawa siapa itu, Nak?” umminya Adam terkejut melihat anak lelaki satu-satunya membawa perempuan berambut pirang ke rumah mereka. Adam meraih punggung tangan ibunya dan mengecup lembut, diikuti oleh Humaira.

“Ini Ummi buat makan malam. “ seraya menyerahkan hasil tangkapan mereka hari itu, kelinci. “Dan gadis  ini kami temukan disisi sungai menuju rumah.”

Ummi terlihat seperti sport jantung. Ia panik harus bagaimana menangani seseorang yang bukan dari keluarganya, yang kini sosok itu penuh lebam dan luka. dan lagi, digendong oleh anak laki-lakinya! Kakinya sibuk mondar mandir keluar kamar menyiapkan bantal dan selimut di kursi sofa.      

“Humaira, tolong kamu ambilkan obat herbal di kotak dapur sayang.” Ummi meminta Humaira yang tengah termenung memandangi kondisi rumahnya yang tiba-tiba menjadi hectic.

“Iya, Ummi.” Jawab Humaira seraya berlari.

“Adam, letakkan gadis itu disini dan kau lebih baik mandi dan bersih-bersih. Setelah itu bawakan selimut. Dan oh-“ menunjuk kearah kelinci yang masih dipegang. “itu, tolong kau masak. Jangan lupa bubur untuk gadis ini.”

“Baik, Ummi.” Jawab Adam pelan. Ia kemudian bergegas menuju kamar mandi untuk bebersih.

Ummi dengan sigap membersihkan luka-luka yang ada dikepala, lengan dan kaki gadis itu. Bahan-bahan herbal itu ditumbuknya sampai halus, dan dengan lembut mengolesnya dipermukaan luka. Sembari mengobati, bibirnya tak berhenti mengucap doa kepadanya. Humaira hanya memandangi gerak gerik ibunya dengan seksama.

Kasihan sekali gadis ini. Kemana orang tuanya? Kenapa ia ditemukan di hutan? Gumam Ummi pelan.

“Ummi,” tegur Humaira. “Gadis ini nampaknya anak bangsawan ya, Ummi?”

“Kenapa kamu bilang begitu?”

“Habisnya, lihat saja pakaiannya, dan kalungnya itu. Kan mutiara. Dan dia cantik, tampak seperti gadis-gadis berbangsa Ottomere ya Mi? Enak ya Mi, punya baju bagus seperti ini.” Bangsa Ottomere adalah suku yang berisi orang-orang bangsawan. Kebanyakan dari mereka bekerja sebagai pedagang. Mereka tinggal disebelah utara suku Dandelion.

Ummi hanya tersenyum mendengar celotehan Humaira. Gadis itu terlihat bahagia karena ia merasa sebentar lagi akan ada anggota baru yang mengisi rumahnya tersebut.

“Tapi, apakah kamu bisa lihat kebahagiaan dari wajahnya? Dari keadaannya yang sekarang, yang penuh luka. Apa kamu bisa melihatnya sedang bahagia?”

Humaira menggeleng.

“Kebahagian itu relatif, Sayang. dan ia memiliki korelasi yang kuat dengan rasa syukur. Apabila bahagia diukur dengan uang, hanya serba kekurangan yang kita miliki. Karena manusia bersifat serakah. Namun, jika tolak ukur kebahagiaan kita adalah rasa syukur, meski sedikit rezeki yang kita miliki, namun rasa syukur kita besar terhadap-Nya, itulah arti kebahagiaan yang hakiki.” Tangan Ummi tak berhenti mengobati luka gadis itu. Tangan satunya beralih kepipi Humaira.

Humaira mengaggukkan kepalanya berkali-kali, tanda faham.“Iya, Ummi betul. Meski kita hidup sehari-hari dengan seperti ini, paling tidak aku bersyukur kita masih punya rumah, masih bisa makan enak dan juga punya Ummi yang bijaksana.”

“Ya sudah, sekarang kamu mandi, dan kita segera solat magrib berjamaah.”

“Baik Ummi!” jawab Humaira sembari berlari menuju kamarnya.

                                                                                ***

“Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.”

Saat itu Adam tengah menjadi imam untuk solat Magrib. Seusai salam, mereka solat sunnah dua raka’at yang kemudian disusul oleh mengaji. Memang menjadi rutinitas sehari-hari bagi mereka sekeluarga untuk mengamalkan membaca Al-Quran setiap sehabis sholat.

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang