l.i.m.a

171 18 0
                                    

Galea’s POV


Setelah diputuskan untuk menjaring ikan, aku melemparkan pandangan keluar, tepatnya kearah gudang dimana Adam berada. Bibi Eysha (nama Ummi yang sebenarnya) dan Humaira kembali ke kamar masing masing setelah kami mencuci piring bersama. Humaira ingin bebersih dahulu sebelum kami pergi berburu ikan.

Aku terfikir berkali-kali akan apa yang diucapkan Bibi Eysha barusan. Pacaran yang paling indah adalah dengan menikah. Bukankah kalau menikah semuanya akan berbeda? Bukankah justru memiliki kekasih dulu, baru kita akan memahami pasangan? Menikah kan hanya untuk orang-orang yang memang ingin punya anak, atau mereka yang sudah diumur 27 keatas, dan untuk menikah, banyak sekali pengorbanan yang harus diberikan. Misalnya, waktu. Secara, dahulu waktu-waktu akan selalunya kita dedikasinya kepada keluarga, terutama ayah bunda dan setelah menikah? waktu-waktu tersebut akan selalunya di dedikasikan untuk pasangan kita. 

Saat ini aku melangkahkan kakiku keluar rumah dan berjalan menuju gudang itu. Paling tidak, aku ingin menunjukkan balas budiku kepadanya, yang telah bersusah payang menggendongku kemari.

“Hai!” aku memandangi punggung didepanku yang sibuk menyiapkan jaring. Tampaknya ia begitu kesulitan membuka jaring-jaring ikan itu karena bentuknya saat ini terkelisut satu sama lain. Adam menoleh sekejap, kemudian melanjutkan kerjanya.

“Mau apa kau?” tanyanya. Seperti biasa, hanya punggung dingin yang kudapatkan. Bukannya sombong, di Suku Ottomere, namaku lumayan populer dikalangan lelaki muda. Banyak yang menawariku untuk menjadi partner dansa, atau hanya sekedar makan malam. Namun disini? baginya aku seperti kapas yang disiram air hujan. Lepek. Bau tanah.

Aku meraih jaring dari sisi yang lain dan membantu membuka simpul jaring tadi.

“Aku mau bantu. Hehehe. Memangnya tidak boleh?” lanjutku nyengir. Lagi-lagi lelaki itu diam. Aku mendecak. Kupandangi wajahnya yang teduh, kalem. “Oh iya, kita belum berkenalan secara formal kan?” Lanjutku. Ia masih bergeming.

“Memangnya perlu?” suara bariton itu akhirnya bersuara. Eh, bisa ngomong juga dia!

“Perlu dong!” Aku tergelak. Lucu memang laki-laki ini. Rasanya ingin aku jadikan bahan tumbal jika tidak mengingat bahwa ia yang menolongku. Aku menjulurkan tangan kepadanya. “Galea Monrov.” Seraya mencoba tersenyum semanis mungkin. Lelaki itu memandangi tanganku yang tengah terbiar di awang-awang. Kemudian melanjutkan aktifitas sebelumnya. “Muhammad Adam.” Jawabnya. Singkat. Padat. Aku segera menurunkan tanganku.

“Kau terlihat muda, umurnya berapa?” tanyaku lagi. Menelan bulat bulat sikap acuhnya.

Ia melirik kesal kearahku, kemudian melanjutkan tugasnya. “ Dua puluh empat.”

Aku manggut-manggut. “Oh, kalau begitu, aku juga akan memanggilmu Kakak. Aku dua puluh satu tahun.” Tuturku mencoba seramah mungkin. Dia diam. Ya Tuhan, demi bulan dan bintang, ingin kulempar ia ke gunung!

“Tak usah. Panggil Adam saja.” Jawabnya kemudian.

“Kita mau pergi jam berapa?” kali ini aku mengelus pelan dadaku yang sedikit bergemuruh, lalu melanjutkan untuk membantunya. Yang aku heran, Humaira lama sekali siap-siapnya?

Alisnya mengkerut. “Kita?”

“Iya, kita!”

“Aku tak ingat mengajakmu ikut berburu.”

Aku menarik ujung bajunya. “Aku ingin ikut. Memangnya tidak boleh? Pliis.”

Ia kini mengarah kepadaku. Menarik kembali baju yang kutarik. Namun matanya tak menatap kedua manik mataku. “Kau masih sakit. Tinggallah dirumah. Jagakan Ummi.”

“Tapi aku ingin ikut!” rengekku kepadanya. Tak ada salahnya kan jika aku ikut berburu bersama mereka? Kenapa ia menolakku?

"Kenapa kau keras kepala sekali, sih?" tanya Adam, ia mendengus. Rasanya kesal harus mendengar celotehannya yang tak pernah habis. 

"Aku tak keras kepala. Tapi kau yang keras kepala dan selalu menolak kehadiranku. Memangnya kenapa dengan ku?"

Adam diam dan tak menjawab pertanyaanku. Ia kemudian beranjak pergi meninggalkanku sambil membawa jaring-jaring itu dan juga umpan yang letaknya dibagian lemari atas. Ia literally pergi dari gudang. Aku menjejaskan kakiku diatas tapak tanah. Ya Tuhan! Akan kubeli boneka tusuk itu sebentar lagi!

Samar aku mendengar Humaira yang tertawa diluar ruangan. Aku melongokkan kepala, keluar dan berdiri disamping pintu gudang. Tampak olehku, kepala bertudung itu dielus oleh Adam. Betapa lembutnya ia terhadap adiknya. Memandangi mereka dari kejauhan, jujur membuat perasaanku iri. Seandainya ibu dan ayahku masih ada. Mungkin aku tidak akan terbiar seperti ini. Aku tak akan merasa disisihkan seperti ini. Bagaimana sikap Paman dan Bibi kandungku setelah mereka tiada? Mereka bahkan tidak berusaha mencariku yang sudah berhari-hari disini. Pasti saja, kan pamanku yang telah membunuh orang tuaku. Air mataku meleleh setelah mengingat mereka dan dengan cepat kutangkis. Kudapati Adam melirik kearahku sekejap kemudian saat pandangan mata kami bertautan, ia mengalihkan matanya.

“Hai Humaira! Bolehkah aku ikut berburu bersama kalian?” aku berlari mendekati mereka.

“Ayo Sini Galea! Ikut sama kita!” aku pandangi raut muka Adam. Ia terlihat menggerutu tak senang. Apa salahku sih sampai dia betul-betul ingin menghindariku?

Galea’s POV ends.

***

Adam's POV


Ya Allah, ujian apa yang Engkau berikan kepadaku?

Engkau hadirkan wanita bukan muhrim untuk berada disisi ku.

Bagaimana mungkin aku bisa memandangi wajahnya sedangkan ia tak halal buatku

Bagaimana aku bisa berbuat baik dan perhatian padanya sedangkan aku takut hal itu mendekati zina

Sungguh Allah, aku tak ingin mengotori hatiku dengan sesuatu yang engkau murkai

Dan kini? 

Aku melihat air mata itu jatuh dari pipinya

Semoga ini hanya simpati, 

 lindungilah hamba selalu dari pandangan yang haram bagi-Mu

Adam's POV ends

-------------------------------------------------------

11/15/2014

Hi readers, bagi yang mau kasih komen atau vote sangatlah di alu alukann... semoga suka ya. dan smoga bisa diambil manfaatnya

say no to plagiarism 

cheerss

Gadis DandelionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang