Subuh itu, seusai mengaji, Adam tengah disibukkan oleh sesuatu. Gudang yang berada diluar rumah, dimana letak jaring-jaring berada serta semua benda aksesoris rumah yang tak terpakai tengah ia bersihkan sampai rapi. Memang pemandangan yang aneh. Ummi menanyakan untuk apa ia rapihkan gudang, namun ia hanya menjawab “Ummi lihat saja nanti ya.”. Humaira sebaliknya, hanya memandangi tubuh itu dengan geleng-geleng kepala. Ia heran melihat tingkah abangnya yang semakin hari semakin aneh.
Galea mendatangi Adam dengan serta merta.
“Selamat pagi, Adam!” kali ini Adam mengangkut tangga untuk dibawa ke pinggir, samping tembok.
“Pagi, Galea.” Jawab Adam. Wah, tumben. Jarang-jarang ia akan menjawab sapaan gadis itu. Mungkin sakit giginya sudah hilang.
“Kau sedang apa?”
Adam melirik wajah Galea dari ujung matanya. “Kau bisa melihatnya kan.” Ia mendengus. “Kau ingin membantu?” dan disambut dengan anggukan kuat darinya. Adam tersenyum simpul.
“Oke. Sebaiknya kau diam dan duduk manis dikamarmu.”
“Itu bukan membantu namanya.” Bibir Galea mengerucut. Tangannya meraih kursi dan segera berjalan kecil ke pojokan, dimana letak barang-barang ditumpuk menjadi satu. Semua barang yang ada di ruang tersebut memang diletakkan dipojok agar lebih banyak ruang yang bisa ditempati. Adam melirik sekilas tubuh kecil itu sembari menggelengkan kepala.
“Tapi buatku itu cukup membantu.” Jawab Adam simpel.
“Membantu itu perlu tenaga. Dan kalau duduk manis dikamar, ia hanya memerlukan zero energi.” Jawabnya. Adam tak menggubris kata-katanya. Melayani anak kecil rasanya menyusahkan.
“Oh iya, Adam. Tadi sehabis subuh, kau membaca sesuatu dengan suara merdu. Dan aku tak faham bahasa dan juga artinya. Itu apa sih?” lanjut Galea.
Memang sedari subuh, Galea bangun dan mengambil posisi duduk di kursi meja makan yang memang dekat dengan area keluarga kecil itu melaksanakan sembahyang. Ia memandangi satu persatu gerakan ringan itu. Ia dulu pernah belajar menari dan juga olahraga bernama Yodea, semacam yoga yang biasa disebut oleh bangsanya, namun tak ada satupun gerakan yang sama dengan pemandangannya kali ini. Dan saat mendengar suara mengaji Adam, hati dan perasaan Galea merasa tentram. Ada sesuatu yang menggetarkan jiwanya.
Kali ini Adam tertarik dengan pertanyaannya. Ia memutuskan untuk menjawabnya. “Itu Al-Qur’an, Galea. Ia adalah buku pedoman bagi umat Islam. Petunjuk bagi orang-orang beriman.”
“Apa itu Islam?”
Ia mengambil jeda sebentar. Berusaha menyusun kata agar terdengar sopan dan tidak mendeskriminasi. “Islam adalah agama, Galea. Agama yang tunduk kepada Allah, yang kami percayai sebagai satu-satunya Tuhan yang benar. Menyerahkan diri kepada-Nya seutuhnya yang tidak ada paksaan diatasnya. Dimana dosa dan pahala dihitung. Dimana ianya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW sebagai pedoman, yang mengatur kehidupan manusia untuk meraih Syurga-Nya.” jawabnya dengan nada tenang, kali ini tak ada suara ketus yang biasa ditimbulkannya. Lelaki itu duduk melipat tumpukan kain-kain perca yang sudah tidak digunakan. Galea pun ikut membantu.
“Memang kau percaya Syurga itu ada?”
Adam mengangguk. “Ya. Bagi kami, muslim, wajib mempercayai hal-hal yang tak kasat oleh mata. Salah satunya keberadaan syurga dan neraka.”
“Oh pantesan. Humaira sering mengatakan ingin masuk syurga. Aku dulu tak mempercayainya.”
“Kau tahu, syurga itu diberikan untuk orang-orang tertentu yang Ia rasa patut menerimanya. Sebab itulah manusia tidak boleh berhenti berharap. Dengan berharap, kau akan termotivasi untuk melakukan segala sesuatu yang dapat membuatmu menggapainya, salah satunya dengan beribadah. Dan neraka? Ia akan memberimu rasa takut. Takut untuk melanggar perintah-Nya.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Dandelion
RomanceMuhammad Adam, pemburu hutan dan juga lelaki tangguh yang taat agama secara tidak sengaja menemukan Galea Monrov, gadis yang dikira mayat tak bernyawa di tengah hutan. Disaat lelaki yang ingin menjaga kesucian hatinya di uji dengan kedatangan wanit...