PROLOG

62.8K 3.3K 160
                                    

CERITA FIKSI
MAAF JIKA TERDAPAT KESAMAAN NAMA, TEMPAT, dll.

Hak cipta dilindungi Tuhan Yang Maha Esa.

Tinggalkan jika ini melalaikan dari ibadah.

🍎🍎🍎

"Saya mau Anda jadi narasumber tulisan saya, Pak!"

Nekat pangkat dua. Aslinya jantungnya seakan-akan sudah mau geser dari posisi seharusnya saking berdegupnya.

Aryudha Bagaskara yang baru saja duduk di tangga Masjid itu malah melirik gadis  berwajah serius yang tampak sungguh-sungguh dengan permintaan anehnya itu.

Kalau bukan karena Sapta, si Babinsa Airmata yang menyuruhnya kesini, ogah dia duduk di tangga masjid Agung Airmata seperti orang dungu begini. Mana siang bolong pula. Lapar pula. Hampir hancur sudah moodnya.

Dini yang berada di ujung tangga itu malah berekspresi datar. "Hebat Peltu Sapta, bisa menyuruh perwira menengah sekelas Mayor buat kesini.  Jangan-jangan mereka anak dan bapak? Oh my God. Syok gue!"

"Kamu semester berapa sih?" Tanya pria muda berumur sekitar 30an itu tiba-tiba sambil membenarkan baret hijaunya sebentar.

"Tujuh, Pak." Jawab Dini tegas sambil menunduk dalam sambil memegang ujung hijab syar'inya yang tertiup angin.

"Okay... kamu kenal Pak Sapta sejak kapan?" Nada Yudha datar sekali.

"Beberapa bulan yang lalu, Pak. Beliau jadi penasehat kami di kelurahan Airmata waktu saya KKN." Jelas gadis berwajah tirus dengan kulit sawo matang itu dengan muka pucat, keringat bercucuran, dan mulut terasa kering. Persis orang panas dalam.

Nafsu menulis militernya sudah menguap entah kemana. Ya, ya, dia memang butuh narasumber yang berkarir di militer, tapi...

"Jangan bawa mayor juga kelesss!!"

Menyesal juga gadis bergamis hitam itu, karena tadi malam terlalu semangat mengirim pesan singkat kepada Sapta. Begini hasilnya. Entah pria paruh baya itu sengaja mengerjainya atau bagaimana? Entahlah...

"Hm..." Pria berbaju loreng hijau itu angguk-angguk kepala dengan ekspresi datarnya.

"Jadi bagaimana, Pak?"

Glekkkk...

Dini merasa pertanyaan itu horor sekali untuk ditanyakan. Ya, horor untuk ditanyakan pada Dantim Intelrem 161/Wirasakti. Sangat horor.

"Kamu mau bayar saya berapa?" Kali ini pria itu meliriknya tanpa basa-basi.

Untuk beberapa saat Dini... melongo.

"Sebenarnya..." Dia menunduk dalam. "Sebenarnya... saya baru mau mulai. Kemarin saya baru tanda tangan kontrak dengan perusahaan dari Singapura. Jadi saya belum tau bayarannya. Tapi..." Dia menjeda ucapannya sebentar. "Pak? Tidak apa-apa kalau Pak Yudha tidak berkenan. Saya tau Pak Yudha pasti sibuk. Saya mohon maaf sudah mengganggu."

Pria itu meliriknya lagi tanpa menjaga pandangan. "Saya memang kesini niatnya untuk ketemu kamu."

"Tapi... saya tidak bisa menjanjikan apa-apa."

"Okay, kalau begitu kita buat perjanjian."

"Perjanjian?" Dini angkat kepala.

Pria berahang kokoh dengan kulit sawo matang itu mengangguk pelan. "Iyah, saya jadi narasumber kamu, dan kamu carikan saya calon istri."

"What?"

Dini berekspresi datar. Datar sekali.

"Kenapa ekspresi kamu begitu?" Yudha malah tambah datar.

"Eh..." Dini langsung menatap ke depan sambil salah tingkah. "No... itu..." Gadis itu sampai kehabisan kata-kata.

"Ini namanya simbiosis mutualisme. Kamu cariin calon istri buat saya, saya jadi narasumber tulisan kamu. Deal? Waktu kamu dua detik untuk berpikir!"

Kali ini nada bicara Yudha lebih santai.

"Tapi..."

"Cukup jawab iyah atau tidak!"

"Iyah!"

Mulut dan hatinya tidak kompak. Entah kenapa Yudha malah ketawa.

Tak menghitung detik pria berseragam loreng itu sudah berdiri dan menarik sepatu pdlnya di rak sepatu kayu yang ada di sampingnya.

"Kriteria saya tidak muluk-muluk sih, pokoknya yang hijabnya lebar, tapi tidak mau diajak ketemuan berdua sama pria. Sudah ngaji dan hafal minimal satu juz Al-Qur'an dengan tajwid yang benar. Shalatnya mesti lima waktu kecuali pas haid. Suka sama anak kecil, dan pemalu kalau berbicara dengan pria. Oh ya, pastikan tidak pernah pacaran seumur hidup." Cerocosnya sambil mengikat tali sepatunya dengan cepat.

"Iyah... tidak muluk-muluk." Dina mau mati saja.

"Tapi saya jarang ke pengajian lho. Tolong kamu bilangin ke dia." Santai sekali.

Dini yang buka mulut. "Jodoh itu cerminan diri, Pak. Kalau mau dapat yang idaman, ya harus idaman juga dong." Dini sewot kali ini. Terlalu berani sebenarnya.

Yudha malah meliriknya sebentar dengan pandangan anti. "Lho? Tadi kan kamu sudah setuju?"

Emosi Dini yang malah naik. "Ya, tapi kriteria Bapak itu terlalu tinggi, Pak. Mungkin anaknya Ustadz, tapi belum tentu juga mau menikah dengan tentara."

"Ada perempuan shalihah yang nikah dengan preman."

"Kebanyakan di novel, Pak."

"Kalau begitu kamu buat jadi nyata." Yudha tak mau tau.

"Ya, mana bisa, Pak?" Tanyanya agak kesal.

"Pokoknya besok saya hubungi kamu untuk tempat pertemuannya dimana dan jam berapa."

"Tapi kan..."

"Nomor hp kamu? Saya bahkan tau nama dan nomor hp kakek dari pak RT kamu, jadi kamu tidak usah repot-repot kasih biodata kamu."

Dini melongo bahkan sampai mobil dinas berwarna hijau lumut itu berlalu.

DEAR MAYOR (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang