TOLERANSI

25.1K 2.3K 37
                                    

Panggilan Allah Ta'ala, selalu lebih penting dari urusan apapun di dunia ini. Siapa yang menempatkan Allah Ta'ala di atas segala-galanya, dia akan mendapati hidup yang baik di dunia dan di akhirat.

Itu yang membuat Dini berjalan cepat keluar dari kelas, berani berdiri dan ijin pada dosennya di tengah-tengah perkuliahan untuk menuju Masjid Angkatan Udara, sepuluh menit sebelum shalat Dzuhur dimulai.

Semua itu karena... cinta.

"Qadarullah (takdir Allah)..." Gumamnya sambil melap keringat di dahi dengan sapu tangannya.

Rupanya motornya mogok di saat-saat genting seperti sekarang. Dia sudah khawatir sekali, saat berbalik, Albert juga baru keluar dari pintu masuk fakultas.

"Lu sonde jadi pih sembahyang, Dini? (Kamu tidak jadi pergi sembahyang, Dini?)" Tanya pria itu sambil melirik motor matic hitam yang sedang diduduki Dini. "Lu pu motor kenapa Dini? (Motormu kenapa Dini?)"

"Mogok nih Albert." Jawab Dini dengan logat yang tak kalah mirip.

Hampir empat tahun di ibu kota dari Nusa Tenggara Timur itu, jadi mustahil dia tidak tau bahasa pergaulan, logat tiap kabupaten yang berbeda-beda sampai kosa kata khas yang hanya dimengerti warga di kota kasih itu.

Albert mau menawari tumpangan, tapi tau kalau Dini tidak mau berboncengan dengan pria.

"Tunggu disini ee Dini! Biar b panggil Asti di kelas! (Tunggu disini ya Dini! Biar saya panggil Asti di kelas)."

Dini mengangguk cepat, dan pria itu sudah berlalu dengan sedikit terburu-buru memanggil teman sekelas mereka.

Tak lama seorang gadis berambut ikal dengan kulit terang sudah muncul. Cepat-cepat menuju motor gigi yang tak jauh dari posisi Dini.

"Ayo Dini! Jangan sampai kau terlambat sembahyang."

Cepat-cepat Dini memakai masker dan helmnya lalu naik di kursi bonceng.

Sesampai di Masjid Angkatan Udara, Asti tetap menunggu di parkiran sambil memainkan ponselnya.

Dini yang malah tak enak. "Asti? Tidak apa-apa tunggu disini?"

Asti malah malas karena Dini terlalu canggung dengannya. "Aihh, kau kayak dengan siapa saja. Tidak apa-apa, Dini. Kau pergi sembahyang sudah!"

Air mata Dini yang malah terbendung. "Terima kasih ya, Asti."

Gadis itu memainkan alisnya dengan santai. "Aman saja, Dini."

Sambil melangkah, Dini mendoakan hidayah untuk Asti. Karena dia tau, dia mungkin tidak bisa membalas jasa Asti untuk mengantar gadis itu ke tempat ibadahnya sewaktu-waktu jika dibutuhkan.

Karena toleransi dalam Islam hanya dalam hal sewajarnya. Menghargai keyakinan orang lain, tidak menghina sembahan agama lain yang membuat penganutnya malah berbalas menghina Allah Ta'ala tanpa ilmu, membiarkan penganut agama lain beribadah dan merayakan hari raya tanpa mengusik dan mengancam keselamatan mereka, dan lainnya. Tapi jika sudah menyangkut akidah, maka tidak diperbolehkan. Seperti mengantar orang lain yang berkeyakinan lain ke tempat ibadahnya, mengatakan selamat untuk perayaan hari raya agama lain, dalam Islam, itu toleransi kebablasan namanya.

🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎

"Kawan-kawan, mari makan!" Ujar Dini sambil menyodorkan roti dan beberapa makanan ringan ke teman-temannya yang sedang duduk di tangga menunggu jadwal perkuliahan selanjutnya yang dimulai setengah jam lagi.

Asti juga membantunya membagikan roti yang tadi baru dibeli Dini setelah shalat, kepada para pria yang sekelas dengan mereka. "Dari Dini." Jelasnya.

DEAR MAYOR (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang