"Gimana urusan kamu sama Pak Aryudha Bagaskara?" Tanya Sapta tiba-tiba setelah menyeruput kopinya.
Setelah lebih dari sepekan Yudha dan Galang tidak muncul di asramanya, tiba-tiba Sapta yang kebetulan mampir untuk minum kopi sekaligus menunggu hujan deras di luar sedikit mereda.
Dini cuma termenung. "Baik-baik saja, Pak." Jawabnya sekenanya.
Sebenarnya dia ingin bertanya, keadaan Yudha dan Galang. Tapi dia merasa itu pertanyaan aneh. Apa hubungannya dengan dua orang itu? Pikirnya.
"Pasti Yudha galak dan dingin ya? Itu biasa."
"Hah?" Dini malah heran.
Bagian mananya yang dingin dan galak? Sementara Yudha suka tertawa kalau dengan dirinya, bahkan hanya dengan melihat ekspresi datarnya.
"Ya, dia dari kecil tidak punya banyak teman." Tambah babinsa Airmata itu.
Dini malah penasaran. "Bapak kenal Pak Yudha dari kecil?"
Pria paruh baya itu sontak tertawa pelan. "Yo iyohlah, Din. Kami masih keluarga dekat. Kakeknya yang latih saya sebelum masuk tentara. Waktu saya masih tugas di Surabaya, kalau liburan, sering saya mampir ke Jogja. Waktu itu Yudha masih kecil, jadi saya yang jagain. Ayahnya kan sudah meninggal pas Yudha masih kecil."
Bibir Dini langsung membentuk huruf 'o'. Jawaban pertanyaannya kenapa Sapta bisa main menyuruh Yudha terjawab sudah. TERNYATA...
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
Rapat kajian remaja Islam (KARISMA) di Masjid raya.
Sebagai bagian dari panitia inti, Dini harus datang tepat waktu meskipun di atas langit tampak mendung.
Menyediakan waktunya untuk pekerjaan tanpa bayaran. Tapi... dia bahagia. Dia malah merasa itu anugerah. Dilibatkan dalam membantu agama Allah Ta'ala.
Sambil menggas motornya melewati jalan cak doko, kaca helmnya mulai sedikit buram. Terkena tetesan dari langit.
Semakin lama semakin buram kaca helmnya, dan benar saja, begitu berhenti di lampu merah yang berada di dekat SMP Negeri 2 Kupang, hujan mulai deras.
Tak ada pilihan lain, selain menepi di kios kecil yang berada tepat di depan SMP. Dia turun dan berteduh di teras kios yang cukup lebar.
Tepat juga gerombolan siswa-siswa SMP yang baru saja pulang, langsung ikut masuk. Belum lagi, gerombolan siswa SMP Negeri 1 Kupang dan SMK Negeri 1 Kupang yang ikut nimbrung karena lokasi sekolah mereka berada sedikit di atas.
Ya, itu kawasan sekolah dan jadilah dia berada di antara anak-anak sekolah yang brisik itu.
Dia sampai menghindar, berdiri di dekat pagar agar tak berdesak-desakan dengan anak-anak sekolah itu.
"Darurat..." Batinnya.
Sejujurnya dia tidak ingin berdesak-desakan begini. Mempengaruhi kemuliaan dirinya sebagai Muslimah, dan mana penampilannya paling tertutup, tentu saja jadi pusat perhatian.
Tak lama sampai sebuah mobil hijau lumut yang tak asing juga menepi.
Dini langsung melihat ke samping. Membuang muka ke arah lain saat pemiliknya yang sudah bisa dipastikan siapa itu turun. Ya, komandan tim intelijennya Korem.
Pria itu datang dan berdiri tepat di sampingnya lalu melipat tangan di dada dengan santai sambil melihat hujan di depannya. "Mau kemana?" Tanyanya tiba-tiba. Sok tidak tau.
"Rapat, Pak." Jawab Dini singkat.
Jangan bilang Dini sudah lupa ya dengan kejadian terakhir di teras asrama, tentu saja tidak.
Yudha cuma mengangguk pelan lalu menoleh ke arah kios kecil di samping mereka. "Kamu mau minum apa?" Tawar pria bersuara dalam itu.
Dini menggeleng sambil tetap melihat ke arah lain. "Tidak usah, Pak. Terima kasih." Balasnya cepat dan tegas.
Tak lama Yudha sudah memesan segelas kopi hitam ukuran besar, dan kembali ke posisi semula.
Pria itu berdiri agak dekat dengannya karena tempat yang tersedia cukup kecil, dan sudah ramai. Bahkan parfum kalemnya bisa tercium, dan sedikit saja Dini bergeser, mungkin kepalanya sudah menempel di dada bidang di sebelahnya. Tidak lucu sekali, pikirnya.
"Pegang!"
Yudha menyodorkan gelas kopi tadi ke arah Dini.
Dini malah menoleh dengan ekspresi heran. "Hah?"
"Ya, pegang gelasnya biar hangat. Orang anemia seperti kamu, cuaca tidak dingin saja bisa kedingininan, apalagi cuaca dingin begini."
Blushhhh...
Sontak pipinya sudah merah menahan malu. Benar juga, dia bahkan tak sadar, kedua tangannya dari tadi memeluk tubuhnya sendiri.
Tapi lagi-lagi gadis berhijab ungu muda itu tetap bersikeras. Menolak.
"Maaf Pak, terima kasih!" Balasnya dengan suara tegas. Nyaris saja ketus.
Yudha meliriknya dengan ekspresi datar sambil geleng-geleng. "Masih jual mahal rupanya."
"Biarin daripada jual murah!" Balasnya tak mau kalah.
Lagi-lagi Yudha geleng-geleng kepala. "Adaaaa saja bahasa kamu untuk berdebat."
"Lagian Bapak kenapa sih harus berhenti segala disini? Bapak kan pakai mobil, kenapa harus berteduh segala?" Galak.
Ini yang membuat Dini kesal. Kedatangan Yudha cuma membuat tempat yang tadinya agak longgar di sebelahnya jadi sempit.
"Ya, suka-suka saya dong. Kok kamu jadi mengatur saya? Memangnya tempat ini punya kamu?" Yudha malah sewot.
Dengan segala kewarasannya, Dini yang memilih diam duluan sambil menatap ke arah lain.
Yudha tetap tak mau menyerah. "Cepat pegang nih!" Tawarnya seperti menawari prajurit. "Ayo cepat!" Kali ini terdengar memaksa.
Mau tak mau, Dini menoleh juga ke arah gelas yang ada di depannya. Dia memang kedinginan sekali. Perlahan kedua tangannya naik, dan memegang badan gelas yang ada di genggaman Yudha. Tak lama sampai telapak tangannya mulai hangat. Dia harus jujur, ini membuatnya lebih baik.
Tiba-tiba sesuatu akan muncul di bibirnya, kalau saja Yudha yang sejak tadi meliriknya tak cepat menangkap ekspresi itu.
"Kamu senyum, ya?"
Cepat-cepat tangannya terlepas dari badan gelas dan membuang muka ke arah lain.
"Tidak! Saya tidak senyum!" Balasnya nyaris ketus.
Yudha sudah menahan senyum. "Senyum tadi. Saya lihat."
"Tidak, saya tidak senyum!"
"Senyum!" Yudha sudah mau ketawa.
"Tidak!"
"Senyum juga tidak apa-apa." Gumam pria itu yang masih bisa didengarnya.
Merasa tak nyaman dengan posisinya yang berada terlalu dekat dengan Yudha, Dini langsung meraih kunci motor di tasnya dan...
BRUMMM...
Sudah kabur duluan di bawah hujan yang masih deras.
"Hey?" Yudha kaget tapi gadis itu sudah pergi duluan. "Keras kepala!" Gumamnya malas.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR MAYOR (Tamat)
Spiritual#KARYA 6 "Saya mau Anda jadi narasumber untuk tulisan saya, Pak!" "Kamu mau bayar saya berapa?" Untuk beberapa saat Dini... melongo. Ini kisah asam manis seorang Dini. Mahasiswa Biologi murni semester akhir yang hobi menulis cerita seputar militer...