"Kalau sudah siap nikah, bilang ke saya!"
"Hahhhh???"
Dini menoleh dengan satu alis meninggi.
Yudha tetap saja memasang gaya santai. "Yaiyah, mungkin saya ada kenalan yang pas sama kamu, kan? Itu maksud saya."
"Dan kenalan saya itu kepala KUA." Lanjutnya dalam hati.
Tau ekspresi Dini? Ya, menganga sepersekian detik sebelum menutup mulut teratur lalu kembali biasa.
Jantungnya sudah berdegup kencang, dan sudah baper duluan. PADAHAL...
Barulah cepat-cepat dia beristighfar dan memilih pergi ke rak lain.
Setelah memasukan semua buku yang akan dibeli, mereka menuju lantai satu untuk membayar di kasir.
Baru saja turun, seorang wanita berambut panjang dengan celana jins lengkap dengan kaos putih langsung mencegat
"Pak Yudha?"
Dini dan Galang yang ada di belakang juga angkat kepala.
Untuk beberapa saat Yudha mengingat wajah yang familiar itu, sebelum bibir tipis berwarna merah muda itu membentuk huruf 'o'. "Mbak Santi, ya?"
"Ya ampunnnn, ternyata Pak Yudha tidak lupa sama saya." Ucap wanita itu bangga sambil membenarkan rambut panjangnya.
"Iyah, saya masih ingat, Mbak. Bakso setan alas, kan?" Bakso yang membuat Yudha seperti makan cabe dengan pohon-pohonnya. Langsung taubat. Itu pertama dan terakhir dia menjadi pelanggan bakso itu.
Galang dan Dini yang memilih semaput mendengar nama warung bakso itu. Ah, nama-nama tempat dagang sekarang suka aneh-aneh, padahal memberi nama yang buruk pada sesuatu yang Allah Ta'ala halalkan termasuk sikap menghinakan rezeki yang telah Allah Ta'ala berikan, pikir Dini.
"Bapak apa kabar?" Tanya Santi antusias. Dia sampai tidak mau melirik dua orang yang ada di belakang Yudha.
"Alhamdulillah saya baik, Mbak." Jawab Yudha dengan senyum tipis. Berusaha menunjukkan sikap baik, selaku aparat yang melindungi masyarakat.
"Bagus kalo begitu, Pak." Sambung wanita berkulit terang itu. "Ngomong-ngomong saya masih jomblo lho, Pak."
Untuk sepersekian detik Yudha terdiam, sebelum tersenyum kecut. "Ada yang tanya?" Batinnya.
"Oh... semoga cepat mendapatkan jodoh yang terbaik ya, Mbak." Pria itu menoleh ke belakang. Tepat ke arah Dini yang langsung melihat ke arah lain. "Saya lagi menyediakan waktu untuk mereka. Kami harus pulang sekarang. Anak saya sepertinya sudah kelelahan. Mari Mbak. Selamat sore."
Muka Santi seperti kelihatan syok duluan. "PAK YUDHA SUDAH PUNYA ANAK DAN ISTRI?!" Rasanya dia mau teriak dari puncak gunung fatuleu.
Dini langsung melintas setelah melempar senyum ke arah Santi yang nyaris tak memberikan ekspresi persahabatan sedikit pun.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
"Totalnya sembilan ratus ribu rupiah ya, Pak." Ucap kasir perempuan yang melayani mereka.
Dini sudah akan mengeluarkan uangnya, tapi Yudha lebih dulu mengeluarkan uang cash dari dompetnya lalu membayar ke arah kasir.
"Itu ada buku saya..."
Yudha menoleh sekilas ke arahnya. "Biar saya!" Potongnya.
Begitu keluar dari toko buku, Dini makin tak enak. "Pak nanti uangnya saya ganti, ya?"
Yudha yang jengah sendiri. "Tidak usah, Dini. Saya tidak ada waktu mengurus pengembalian uang." Jawabnya tegas. Dini langsung diam dengan perasaan campur aduk.
Pria di hadapannya itu langsung merunduk sebentar dan memegang pipi putranya yang tampak kelelahan. "Pulang sama Papah atau sama kak Dini?"
Galang malah menunjuk-nunjuk Dini. "Sama kak Dini aja. Galang mau dibonceng kak Dini."
Yudha justru khawatir. "Tapi Galang kelihatan ngantuk. Nanti Galang gak boleh tidur lho di atas motor."
"Bisaaaaaaaa..." Sanggah pria kecil itu sambil mendorong pelan lengan Papahnya agar menuju mobilnya.
Yudha menyerah juga. "Tapi kalau Galang ngantuk, bilang kak Dini ya? Biar tangannya dipegangin sama kak Dini."
"Siappp, Komandan." Galang bersikap hormat membuat Dini yang tersenyum.
Entah kenapa Yudha malah tambah cemas. Diam-diam dia suka khawatir pada putranya itu. Galang lecet sedikit saja, dia yang rasanya terluka apalagi kalau Galang masuk UGD, mungkin dia memilih wafat duluan.
Dan akhirnya Galang ikut dengan Dini. Belum juga mereka siap-siap menuju kendaraan masing-masing, seorang wanita berpenampilan syar'i sudah muncul dari depan.
"Ukhti Dini?"
Dini kaget bukan kepalang bahkan sampai salah tingkah. Entah karena tak menyangka, atau karena bertepatan saat dia jalan dengan seorang pria.
Gadis itu langsung berusaha membenarkan ekspresinya. "Ummu Damar? Apa kabar Umm?"
Keduanya langsung bersalaman lalu tempel pipi kiri dan kanan
"Alhamdulillah baik, Ukh. Anti apa kabar?"
"Alhamdulillah baik, Umm." Jawabnya dengan keringat yang sudah muncul di dahi.
Istri dari Ustadz Subhan itu sempat melirik pria tinggi, berbadan tegap dengan jam tangan hitam di pergelangan tangan kanan yang ada di belakang Dini.
"Saudara Anti dari Bandung ya, Ukh?"
Refleks Dini menggigit bibir bawahnya.
"Saya Aryudha. Kenalan Nona Dini, Bu." Sela Yudha.
Ummu Damar malah tak menanggapi, dan langsung menatap Dini lekat-lekat. Ekspresi wanita paruh baya berjilbab navy itu berubah.
"Mahrom?"
"Bu... bukan, Ummi. Kenalan." Dini sampai gelagapan.
"Bukan mahrom tapi jalan bersama? Anti sudah ngaji lho. Tau batasan. Apa yang nanti dibilang sama orang kalau Anti jalan dengan pria, dan bermudah-mudahan seperti ini." Suaranya terkesan ketus dan menghakimi.
Telak!!
Tisssssss...
Air mata Dini sudah jatuh duluan. Yudha yang malah tidak suka dengan cara Ummu Damae dalam menasehati. Wanita itu belum tau kejelasannya apa, tapi malah menghakimi, pikirnya.
"Anak saya yang ingin ditemani jalan-jalan. Ini bukan salah Dini, Bu."
Bukannya menanggapi, wanita itu sudah pergi saja. "Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam." Balas Dini nyaris seperti berbisik sambil sesekali tangannya naik mengusap air mata yang terus mengalir agar tak dilihat oleh Galang. Air mata bersalah.
"Saya tau mungkin beliau ada benarnya, tapi apa itu sikap yang cukup beradab dalam menasehati orang lain?" Yudha tak terima.
Gadis di sampingnya tak mau menanggapi apa-apa. Cepat-cepat dia dan Galang pergi mendahului Yudha yang masih mematung di tempatnya.
Sepanjang perjalanan, Dini tak berhenti menangis sambil tangan kanan memegang setir, dan tangan kirinya memegang tangan Galang yang telah tidur sambil memeluk pinggangnya dan bersandar di pundaknya.
Sesampai di halaman asrama pun, air matanya tak mau berhenti. Dia menggendong Galang dan menyerahkan perlahan pada Yudha yang baru keluar dari mobilnya.
"Dini?" Panggil Yudha pelan tapi gadis itu tak menanggapi. Terus berjalan sambil terus mengusap air matanya.
"Dini?"
Barulah Dini berbalik.
"Assalamu'alaikum. Terima kasih untuk hari ini." Ucap gadis itu pelan dan langsung masuk ke dalam dengan langkah cepat.
Yudha yang menatap punggungnya dengan sendu. "Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh." Balasnya pelan.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR MAYOR (Tamat)
Spiritüel#KARYA 6 "Saya mau Anda jadi narasumber untuk tulisan saya, Pak!" "Kamu mau bayar saya berapa?" Untuk beberapa saat Dini... melongo. Ini kisah asam manis seorang Dini. Mahasiswa Biologi murni semester akhir yang hobi menulis cerita seputar militer...