"Saya ada urusan mendadak. Kamu bisa tunggu sebentar?"
Dini melepas helmnya dengan wajah datar, sambil tetap menaruh ponsel di telinga kanannya.
"Dina?" Panggil Yudha dari seberang telepon.
"Aish..." Dini tahan napas. "Nama saya Dini!"
"Hahahahaha... maaf-maaf saya lupa."
Seenak itu dia tertawa setelah memanggil nama orang dengan salah. Tanpa kalimat 'maaf' pula. Entah manusia macam apa dia ini?
"Okay, Dini?"
"Iyah, Pak." Jawab Dini malas.
"Meja nomor dua puluh tiga ya. Saya segera kesana setelah urusan disini selesai. Tunggu sebentar disana. Jangan kemana-mana!"
"Bilang Insyaallah, Pak." Tegasnya.
Yudha malah bingung. "Hah?"
"Ya, Insyaallah, Pak. Anda kan tidak tau setelah ini Anda bisa datang atau tidak. Ada halangan atau tidak."
"Saya kira Insyaallah itu untuk sesuatu yang tidak pasti, lho."
"Justru Insyaallah itu lebih tinggi dari kalimat pasti. Kalau Allah menghendaki, pasti datang. Itu maksudnya." Dini jadi menggurui.
"Okay."
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
"Wa'alaikumussalam, Pak. 'S'nya itu double."
Yudha sampai tahan napas di seberang. "Iyah, iyah, ibu Ustadzah."
Dini memilih mengakhiri panggilan lebih dulu daripada berbicara dengan manusia keras kepala.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
Satu jam terlewat...
Dini masih sabar.
Dua jam terlewat...
Dini masih sabar sambil membaca bukunya.
Hampir tiga jam...
"ALLAHU AKBAR, ALLAHU AKBAR."
Adzan Ashar sudah berkumandang seiring dengan kesabaran Dini yang sudah hampir di ujung batas.
Setelah membayar makan siangnya, gadis itu sudah pergi saja menuju Masjid Nurul Iman dengan tetap istighfar menahan emosinya.
"Harusnya saya tidak tertipu dengan dia." Batinnya.
Tiba-tiba dia sudah menangis sambil menyetir. Saking emosinya, kadang dia bisa menangis sendiri.
Baru kali ini dia tau ada tentara yang tidak disiplin. Dan itu membuatnya merasa tidak dihargai. Membuang-buang waktu berharganya, dan membuatnya malu karena duduk berjam-jam disana seakan-akan numpang wifi dan stop kontak. Bukan gayanya sekali.
🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
Sudah selesai waktu Isya' saat seorang pria dengan celana kain hitam, dan baju Muslim pria berwarna silver itu turun dari mobilnya sambil menenteng laptop dan beberapa kertas HVS di tangannya serta paper bag berisi makanan ringan.
Langkahnya menuju pintu masuk asrama mahasiswa putri Al-Hikmah dengan santai.
"Bisa panggil Nona Dini?" Pintanya pada seorang mahasiswi berkulit gelap dengan hijab maroon yang sedang mengepel ruang tamu.
"Oh iyah, iyah, Pak. Duduk dulu, biar saya panggilkan Dini di lantai dua."
"Terima kasih."
Yudha langsung mengambil tempat di sofa dan membuka laptopnya
Tak lama orang yang sama kembali turun.
"Maaf Pak, Dininya tidak mau bertemu siapapun. Katanya sedang sibuk kerja tugas."
Alis kiri Yudha malah terangkat. "Bilang pada dia, saya tidak akan pulang sampai dia turun."
Lagi-lagi perempuan bernama Rahma itu naik ke lantai dua dan turun lagi sambil tahan sabar. "Katanya dia tidak peduli, Pak. Asrama ditutup jam sepuluh. Jadi Bapak harus pulang sebelum itu."
Yudha masih tak mau menyerah. "Okay, bilang pada dia saya akan telepon editor."
Okay, Rahma makin mempertebal sabar menjadi 'jembatan komunikasi' antara dua orang tidak tau diri yang seenak jidat main memerintahnya.
Dan hasilnya... lagi-lagi Rahma turun dengan tangan hampa. "Dini bilang dia tidak peduli, Pak. Dia memang sudah membatalkan kontraknya tadi sore. Itu lebih baik daripada harus bekerja sama dengan orang yang tidak disiplin."
Yudha tak terima. "Pokoknya saya tidak mau tau, suruh dia turun! Saya mau bertemu."
Rahma hampir stres setelah kembali lagi ke lantai satu. "Dini bilang dia tidak peduli."
"Okay."
Yudha mengambil ponsel dan menelpon berkali-kali ke nomor yang sama. Tak lama benar saja, Dini turun dengan ekspresi datarnya sambil menenteng laptop pinknya.
"Duduk!" Titah Yudha seperti pemilik asrama saja.
Gadis dihadapannya duduk di seberang meja dengan ekspresi yang sama.
"Nih!" Sebuah paper bag sudah ditaruh di atas meja. "Duduk disitu sampai saya selesai mengerjakan pekerjaan saya!"
"Jadi Anda datang cuma buat itu?" Tanya Dini dingin.
"Iyah." Jawab pria itu santai sebelum kembali fokus ke laptopnya.
"Tidak ada kalimat maaf?" Batin Dini kesal sendiri. Benar-benar makan hati.
"Kenapa Anda tidak kerja di rumah Anda saja?"
Yudha tetap fokus ke laptopnya. "Ya, suka-suka saya dong. Kok kamu jadi mengatur saya?"
"Anda yang terlalu merasa!" Dini tak terima.
Alhasil pria di hadapannya memilih diam duluan daripada berdebat berkepanjangan. Kapan pekerjaannya selesai kalau berdebat terus? Pikirnya.
Dini juga memilih fokus pada tugasnya dan keduanya tenggelam dalam kesibukan masing-masing. Diam-diaman di ruang tamu sampai mendekati pukul sepuluh malam.
"Okay, selesai. Saya harus pulang."
Dini diam saja sambil tetap mengetik sesuatu.
Bukannya pulang, Yudha malah mematung disana sambil menatap gadis itu.
Dini yang angkat kepala jadi kikuk sendiri. "Ada apa lagi sih, Pak?"
Yudha menunduk dengan wajah serius sebelum kembali mengangkat kepala. "Tadi siang, saya menjemput putra saya di RA Al-Muttaqien."
"Anda sudah punya anak?" Alis Dini sampai bertautan. Masih tak percaya.
Pria itu malah menatapnya penuh selidik. "Kenapa kamu tidak percaya begitu? Saya terlalu ganteng ya untuk punya anak?"
"HOEKKKKK..." Dini mau muntah.
Yudha malah tertawa melihat ekspresinya. "Kapan-kapan kamu harus kenalan dengan dengan Galang. Dia suka buku seperti kamu. Oh ya, tadi siang dia mengalami kecelakaan kecil di RA, jadi saya harus mengantar dia ke rumah sakit. Saya sampai lupa menghubungi kamu, karena saya terlalu khawatir dengan putra saya." Ekspresinya mendadak berubah agak sedih.
Dini yang malah menyesal sudah berprasangka buruk.
"Besok kita ketemu ya? Saya mau mengenalkan kamu dengan Galang."
"Tapi..."
"Kenapa lagi?" Yudha malas sendiri. "Kamu mau saya kenalkan juga dengan Ibu saya?"
Dan pria itu langsung berdiri lalu berlalu begitu saja. Membiarkan Dini yang masih sibuk dengan pikirannya.
Yudha itu manusia yang sulit dimengerti, pikirnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/207742769-288-k916794.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR MAYOR (Tamat)
Spirituelles#KARYA 6 "Saya mau Anda jadi narasumber untuk tulisan saya, Pak!" "Kamu mau bayar saya berapa?" Untuk beberapa saat Dini... melongo. Ini kisah asam manis seorang Dini. Mahasiswa Biologi murni semester akhir yang hobi menulis cerita seputar militer...