ASSALAMU'ALAIKUM DINI?

29.8K 2.4K 43
                                    

PRAKKKKKKKKKKKKKK

Tatapan satu ruangan langsung mengarah pada objek yang sama. Yap, seorang gadis berhijab syar'i coklat dengan gamis berwarna senada.

Dan Dini yang baru mengangkat kepala dari kegiatan menulis, langsung melirik teman-teman sekelasnya dengan muka polos.

"Ada apa?" Tanyanya pura-pura tidak tau sambil melempar senyum canggung.

Satu kelas termasuk dosen yang bereskpresi tegang, langsung menormalkan ekspresi.

"Tidak apa-apa, Dini." Jawab Ellie yang duduk di kursi depan.

Lalu perkuliahan kembali dilanjutkan dengan tenang. Tanpa ada yang merasa, ada sakit yang menjalar di hati... Andinistika.

Dini tau, bahkan sangat tau alasan teman-temannya kompak menatapnya.

Gedung di sebelah fakultas sains dan teknik sedang direnovasi, dan sepertinya ada benda berat yang jatuh. Dipikiran teman-temannya cuma satu. Bom.

Tidak usah tanya alasan kenapa mereka justru melirik gadis berpenampilan syar'i sekaligus satu-satunya yang beragama Islam di kelas itu bahkan satu-satunya yang berpenampilan syar'i di fakultas. Tanyakan saja pada issue yang beredar di luar sana. Kenapa simbol Islam malah dianggap sebagai ancaman?

Setelah perkuliahan, tanpa pamit pada teman-teman perempuannya, gadis itu sudah pergi menuju parkiran.

Ada hujan di pelupuk matanya yang sudah siap tumpah menunggu kedipan. Dan saat tarikan gas sekali, air matanya berderai.

Pas sekali dia belum shalat Dzuhur, seperti biasa mampir di Masjid Angkatan Udara yang tak jauh dari kampusnya. Tempat kembali yang pas untuk menenangkan diri.

🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎

"Jangan banyak marah-marah, Nak! Sabar!" Ucap Uliv dari seberang telepon.

"Iyah, Bunda." Jawab Dini dengan lemas. Dia baru ingat, dia mudah emosi akhir-akhir ini karena jenuh dengan kesibukannya yang seperti memaksanya tidur di kampus.

Ibunya bisa tepat sekali memberi nasehat, pikirnya.

Sebagai anak rantauan, nasehat dan suara Ibunda adalah hal paling berharga baginya. Penawar kala hati merasa kesepian. Makanya itu, dia ingin menyelesaikan kuliahnya untuk kembali benar-benar bisa berkumpul dan memeluk Ibunya yang jauh di Bandung. Terpisah samudera dengan jarak bermil-mil.

Tinggal di tanah minoritas, dan jatuh bangun dalam hijrah bukan hal yang mudah untuknya. Kadang dia merasa, seperti mimpi menjadi baik seperti teman-temannya yang ada kajian remaja Islam yang kerap ditemuinya setiap pekan di Masjid raya, sementara teman yang sevisi untuk akhirat di kampus saja dia tidak punya.

"Laporan kamu banyak?"

"Ya, gitu deh, Bun. Bunda doain aja. Tugas banyak, proposal harus kelar biar bisa didaftarkan untuk seminar juga. Tahun ini harus serba fokus, Bun." Curhatnya.

"Insyaallah Bunda akan selalu doakan yang terbaik untuk kamu, Nak. Jangan lupa kamu tetep ikut ngaji ya, Nak. Sesibuk apapun itu. Bawa catatan pas kajian biar ilmunya bisa diikat dengan menulis. Ngaji itu tameng buat kamu, biar tetep teguh walaupun lingkungan gak mendukung."

"Hadir di majelis ilmu juga tanda cinta kepada Allah Ta'ala. Karena hanya orang yang cinta, yang mau tau, apa yang diperintahkan, dan dilarang oleh yang dicintainya."

"Jangan males-males ya, Nak! Tetap datangi semalas apapun itu. Duduk dan dengarkan saja! Semangat perbaiki kualitas akhiratmu, Insyaallah urusan dunia kamu beres." Lanjut Uliv.

DEAR MAYOR (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang