"Jangan lupa rutin sikat gigi ya Galang!" Ucap Firman. Dokter tentara berpangkat kolonel itu sambil menggandeng Galang menyusuri lorong rumah sakit wirasakti.
"Siap pak Dokter." Jawab anak laki-laki itu semangat membuat Firman tertawa.
Tak jauh dari mereka, Yudha juga sudah mendekat setelah mengambil obat untuk Galang. Pasalnya anaknya itu demam beberapa hari belakangan.
Dia langsung mengulurkan tangan, dan Galang berpindah memggandeng tangan Papahnya.
"Terima kasih, Pak." Ujar Yudha sambil tersenyum.
Pria paruh baya dihadapannya mengangguk sambil menepuk-nepuk pipi Galang. "Calon taruna Akmil banget nih. Persis Papahnya."
Kedua pria itu tertawa pelan sedangkan Galang masih melihat-lihat ke sekitar dengan ekspresi khas anak kecil.
"Galang? Galang mau jadi perwira kayak Papah?" Tanya Firman.
Pria kecil berkaos biru langit itu menggeleng kuat. "Gak, Galang gak mau jadi tentara. Galang mau jadi dokter kayak Mamah."
"Dokter tentara, ya?" Tawar Yudha. "Kayak dokter Firman."
Tetap saja anaknya itu menggeleng kuat. "Gak... gak mau jadi tentara. Maunya jadi dokter aja."
Sontak keduanya tertawa pelan untuk kedua kalinya. "Mukanya ikut Anda, tapi sifatnya ikut Mamahnya."
"Hahahaha iyah nih, Pak."
"Belum ada calon nih, Pak? Sudah lima tahun lho." Sindir Firman.
Ekspresi Yudha agak sendu sebelum tersenyum terpaksa. "Pertama selalu istimewa dan sulit untuk dilupakan, Pak."
Dokter di hadapannya menepuk-nepuk pundaknya. "Nyonya Siskarinda Pratiwi sangat mencintai Anda. Dia hanya ingin Anda bahagia."
Yudha sedikit menunduk dengan senyum getir sebelum mengangguk paham.
Tidak terasa sudah lima tahun dia masih saja terbayang gadis berjas putih di lorong rumah sakit dengan senyum menawan itu.
Saat itu pangkatnya masih Kapten, saat pertama kali melihat Siska, dan dia langsung suka. Cinta pertamanya. Lagi-lagi melalui Sapta dia melamar Siska untuk dirinya.
Beberapa tahun terlewat dengan indah. Berita bahagia untuk keduanya dan pihak keluarga mereka saat Siska dikabarkan mengandung, tapi tepat saat melahirkan... cinta pertamanya itu pergi.
Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia untuk keduanya, justru menjadi hari berduka untuk Yudha. Stres? Sudah pasti. Brutal sekali waktu itu.
Ah, betapa singkatnya.
Orang-orang sekarang suka mengeluh tentang kesendirian agar cepat mendapatkan pelengkap. Tapi mereka lupa... hakikatnya kita sebenarnya sendiri, pikir Yudha.🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎🍎
Hanya dengan menggunakan celana training panjang dan kaos abu-abu lengkap dengan sepatu kets hitam, Yudha masih berlari di atas treadmillnya saat Galang tiba-tiba keluar dari kamarnya dan berdiri di sampingnya dengan wajah cemberut.
"Pah? Galang kan udah berani periksa gigi, berarti Galang dapat hadiah dong?"
Pria muda itu mematikan mesin treadmill dan turun menghampiri anaknya. "Memangnya Papah janji gitu ya?"
"Iyahhhhhhh, Papah jangan lupa!"
Galang duduk di sofa diikuti Yudha yang mendadak berpikir untuk mengingat-ingat janjinya.
"Okay, Galang mau hadiah apa?"
"Kalau kita liburan?" Tanya putranya dengan mata berbinar.
Dahi Yudha langsung mengkerut. Dia tidak mungkin meninggalkan pekerjaannya dalam waktu dekat. "Mm... kalau yang lain?"
Mendadak ekspresi Galang langsung berubah masam sambil melipat tangan di dada dan melihat ke arah lain.
Yudha langsung paham lalu merangkul pundak putranya itu. "Gini ya anak shalih, Papah gak bisa dalam bulan ini. Ada hal yang harus diurus."
"Papah langgar janji!" Sambung Galang dengan nada tak suka.
"Gak langgar janji, Papah cuma nunda aja." Ucapnya lembut sambil mengelus kepala putranya.
"Gak asik!"
"Lho kok gitu?"
"Iyah Papah gak asik, di kantor, di rumah, Papah cuma kerja. Papah tau gak Galang jatuh kemarin di RA? Papah tau gak?"
Mata Yudha refleks melebar. "Galang jatuh dimana? Luka gak? Kok Galang gak kasitau Papah?"
Pria kecil itu menoleh dengan wajau kesal. "Galang mau kasitau Papah, tapi Papah hampir setiap hari suruh Om Didi yang jemput Galang. Galang mau bicara sama Papah, Papah angkat telepon."
"Galang minta jalan-jalan, Papah malah bawa Galang ke kantor Papah. Lihat tumpukan rokok yang ada di dalam truk. Papah gak asik!!"
Dia langsung turun dan berjalan cepat ke kamarnya. Menarik selimut dan menutupi seluruh tubuh.
"Galang? Galang dengerin Papah dulu!" Yudha mengikuti putranya itu lalu duduk di lantai sambil mengusap kepala putranya dari balik selimut. "Maafin Papah, ya?"
"Galang suruh ke asramanya kak Dini, Papah selalu bilang kak Dini sibuk padahal Papah belum tanya kak Dini langsung!!" Jeritnya dengan suara serak. Tak lama benar saja, suara tangisan yang terdengar.
Yudha yang jadi lemas sendiri. Kalau sudah di depan putranya, dia jadi lemah. "Galang? Galang? Galang maafin, Papah."
"Galang... gak... pengen jadi tentara, soalnya... kata Nenek, waktu... Mamah melahirkan Galang, Papah... malah... pergi... tugas..." Curhatnya dengan suara serak.
Spontan air mata Yudha sudah terbendung di pelupuk, satu kedipan dan langsung jatuh membasahi pipinya.
Pria itu bersandar di dipan putranya dan menangis dalam diam. Iyah dia ingat, saat itu dia memimpin sebuah misi, dan Siska melahirkan tanpanya. Saat pulang tugas, Siska justru sudah dikubur dua hari sebelumnya. Mana dia tau, kalau saat terakhir dia melihat wajah belahan jiwanya itu adalah saat kesakitan ketika akan melahirkan. Itu terakhir...
"Papah nangis?"
Galang yang baru menghapus air matanya itu turun dan duduk di sampingnya.
Cepat-cepat dia menghapus air matanya dan tertawa getir. "Papah juga manusia."
Kedua tangan Galang langsung memeluk perut six packnya. "Maafin Galang ya, Pah." Ucapnya. Entah kenapa dia merasa bersalah.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR MAYOR (Tamat)
Spiritual#KARYA 6 "Saya mau Anda jadi narasumber untuk tulisan saya, Pak!" "Kamu mau bayar saya berapa?" Untuk beberapa saat Dini... melongo. Ini kisah asam manis seorang Dini. Mahasiswa Biologi murni semester akhir yang hobi menulis cerita seputar militer...