Ketika Cinta Tak Harus Memiliki (ending of story)

38 4 14
                                    

Hari Pertunangan Nathan

   "Pokoknya pastikan semuanya berjalan lancar. Saya mau sejam sebelum acara di mulai semuanya udah rapi, trus makanan udah di atas meja semua." Kata Rafael pada beberapa orang yang di bayarnya untuk membantu menyiapkan acara pertunangan adiknya. Orang-orang itu mengangguk kemudian mulai bekerja sesuai perintah.

   Dari kejauhan, Rafael melihat seorang gadis datang sambil membawa tas karton ditangannya. Gadis itu melambai padanya. Itu Tessa, lama tak berjumpa dengan gadis itu semenjak Rafael asik dengan kehidupannya. Gaun putih selututnya sedikit tertiup angin dan membuat seolah kecantikkannya memancar. "Hai, Rafael..." seru gadis itu sambil memberikan senyum termanisnya. "Hai." Timpal Rafael jadi kaku.

"Acara belum mulai, kan? Semoga gue gak terlambat." Tessa melirik arlojinya.

"Gak kok, masih banyak yang belum dateng. Oh iya, apa kabar? Christine gimana, sehat?" Tanyanya sambil memasukkan kedua telapak tangannya ke saku celana, berusaha kelihatan santai--, padahal ia sedikit deg-degan.

"Alhamdulillah, sehat semuanya." Timpal Tesaa. Mendengar pernyataan Tessa, Rafael langsung terkejut. Benarkah yang dikatakan gadis ini barusan? Bukankah ia baru saja mengucap kalimat alhamdulillah? Pikir Nathan. Tapi ia tidak ingin merusak suasana dengan menanyakan hal seperti itu pada Tessa. Senang rasanya berjumpa dengan gadis ini lagi walau keduanya sudah lama saling menjaga jarak. Tessa melihat ke sekitar sambil membenarkan posisi kaca matanya. "Cari apa?" Tanya Rafael.

"Kamar mandi disini mana?" Tanyanya.

"Masuk aja ke dalem. Banyak orang kok di sana, tanya aja lagi." Rafael menunjuk ke arah pintu masuk rumahnya. Tessa mengangguk kemudian berlalu.

   Beberapa menit kemudian rombongan ibu-ibu LYQAENSIFU bersama keluarga mereka datang. Bu Lulu bahkan mengajak serta Ali dan Ruqaiya untuk datang ke perayaan pertunangan Nathan dan Nabila. Mereka semua disambut oleh Rafael dan pak Lian, bapaknya Rafael. Setelah berbincang beberapa menit, mereka pun masuk dan mulai membantu menyiapkan acara sebelum benar-benar akan dimulai.

   "Nad, gua capek ah. Pen molor." Kata umi Elsya sambil merebahkan diri di ranjang tidur Nabila. Mama Nadia dan mama Silvi yang sedang mendandani Nabila pun menggeleng. "Gak bantuin gak dapet makan..." seru mama Silvi bercanda. Umi Elsya langsung bangun, "Iiiii... bisa gitu..." ekspresi wajahnya membuat mereka yang berada di dalam kamar tersebut tertawa geli, termasuk Nabila yang melihat jelas dari cermin rias.

"Bil... Bil... padahal lu teh mau jadi mantu gua kemaren, ya. Eh kagak jadi malah ama si Nathan." Kata umi Elsya.

"Ya anak elunya jual mahal, 90bl0ck!" Timpal mama Silvi. Mereka semua kembali tertawa. "Ya kan anak gua mah kagak boleh pacaran dulu sebelum lulus. Kalo mau pacaran mah nunggu nikahnya aja, biar gak bikin dosa buat emak bapaknya ege." Kata umi Elsya sambil menggaruk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal.

Ibu Qori yang sedang menggeser beranda online shop-nya pun ikut nimbrung. "Kalian pada ngomongin apaan siii?" Tanyanya dengan ekspresi wajah tak mengerti.

Ibu Bunga menepuk jidat. "Kemana aja anda dari tadi, hahhhh?"

"Aku kan lagi bukain olshop aku. Banyak banget tuh yang mesen panci anti karat, soalnya murah tapi barangnya gak murahan, beneran anti karat juga." Jelasnya.

"Malah promosi. Deuh, aing mah!" Ibu Bunga menggeleng-gelengkan kepala. Yang lain menertawakannya.

"Syuuuuttt, ah. Diem. Pantengin yang lagi didandanin noh. Diem, kemayu." Mama Asadina memperhatikan Nabila sambil tersenyum. Yang lain pun bersorak membenarkan dirinya. Walau dalam hati ada sedikit rasa kesal--, sebab gadis itulah putrinya kehilangan cinta, tapi ia tak bisa menyalahkan Nabila. Ia tahu Nathan berhak memilih dan meninggalkan Salma--, sebab keduanya pun memang tak memiliki status apa-apa, hanya saja rasa geram itu ada.

The Family of LYQAENSIFUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang