Bagian 8

217 23 6
                                    

Perdana memandangi tiga gadis yang tertunduk, takut-takut di area parkir klub malam, karena kedapatan pergi ke tempat yang tidak seharusnya didatangi oleh anak sekolah. Ia tidak habis pikir, apa yang membuat ketiga anak didiknya tersebut datang ke tempat seperti ini. Pria itu menghela napas sesaat sebelum akhirnya membuka suara.

"Saya nggak marah. Karena tau, kalian pasti punya alasan sampai nekat datang ke tempat seperti ini. Kalian bisa cerita sama saya kalo punya masalah. Tapi datang ke sini bukan jawabannya. Kalian mengerti?"

Ketiganya mengangguk serempak sambil mengucapkan kata maaf dengan sangat pelan. Setelah itu Perdana menyuruh mereka untuk lekas pulang. Tetapi, ia menahan Sesha, mengatakan ada yang harus di bicarakan terkait masalah yang sempat gadis itu curhatkan padanya.

"Sesha punya masalah apa?" tanya Aya penasaran saat ia dan Lika akhirnya pulang berdua saja.

Lika menggeleng, ia juga tidak pernah tahu kalau ternyata Sesha punya sebuah masalah yang ia pendam.

"Lo inget nggak, Ay. Sebelum Melia meninggal, dia pernah curhat juga sama pak Perdana kan?"

"Ah, iya gue ingat. Pak Perdana manggil dia secara pribadi pas kita pulang sekolah."

"Sekarang Sesha juga gitu. Lo curiga nggak sih ada yang aneh?"

"Apanya yang aneh?"

"Ada sesuatu yang disembunyikan dari kita. Tapi apa ya?"

"Lik! Lo pernah kepikiran nggak, kalo ada kemungkinan Ajeng tahu jawabannya dari masalah ini?"

***

Seperti dugaan Aya. Ajeng benar-benar tahu sesuatu dari masalah ini. Ketiganya memutuskan untuk bertemu -tanpa kehadiran Sesha-di sebuah kafe yang cukup ramai, seperti permintaan Ajeng sendiri dan ia menunjukkan buku harian Melia yang ia bawa.

"Lo dapat ini dari mana?" tanya Lika kaget.

"Dari orang tua Melia. Gue, mutusin untuk ngebuka lagi penyelidikan tentang kasus ini. Karena ngerasa ada kejanggalan."

"M-maksud lo apa? Lo siapa?" kali ini, Aya yang bertanya. Rautnya dipenuhi kebingungan.

Namun, Ajeng hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Aya. Ia menyuruh dua gadis di hadapannya untuk membaca sebuah kalimat di halaman buku harian yang saat ini tengah terbuka.

'Ragib, pada perasaan ini. Awal yang akhirnya ku jangkau. Aku rela menyerahkan semua. Untuk dia bisa ku miliki.'

Aya dan Lika nampaknya tidak paham maksud dari kata-kata yang ditulis Melia dalam buku hariannya tersebut. Namun, Ajeng melingkari sebuah kata memakai bolpoin yang sedang ia pegang. Kata yang sepertinya sebuah petunjuk, untuk memulai memecahkan kasus ini.

"Dia adalah pembunuh Melia."

ADA HANTU DI SEKOLAH (Snackbook) [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang