FaNa-Lima Belas

2.4K 256 70
                                    

°•° Isi Lauh Mahfudz Kamu--Seperti-Nya Tidak Ada Nama Aku °•°

°•°

Magribnya Faza dan Rafly sholat di masjid. Kehadiran Faza di lingkungan tempat tinggal Hana, membuat ia tertahan di masjid setelah sholat, sekedar untuk bicara ringan. Satusnya sebagai menantu Syaiful-Dian sudah tersebar luas disekitar tempat tinggal Hana. Wajahnya dikenali oleh berberapa jama'ah masjid. Jadi dia harus menunjukkan sikap ramah kepada jam'ah masjid yang mengenalinya.

Sesampainya mereka di rumah. Sayup-sayup suara lantunan Al-Qur'an mengisi kesunyian rumah. Langka Faza yang tadinya mau ke kamar, ia tahan. Ayat suci yang di lantunkan berasal dari kamarnya---Hana sedang membaca Al-Qur'an. 

Sedangkan Rafly langsung masuk ke kamar pribadinya.

Di ruang tengah, Faza duduk di kursi plastik berhadapan dengan televisi yang mati. Ia memutar kepala memperhatikan sudut demi sudut rumah Hana.

Bagian ruang tamu diisi dengan sofa, satu tanaman hias di sudut ruangan. Di dinding hanya ada satu figura, itu pun figura foto ka'bah.

Beralih pada ruang tengah, ruang santai keluarga. Ada meja makan, pada bagian ujung ruangan yang menghubungkan ke dapur. Di tengah-tengah ruang ada karpet permadani terbentang. Kalau ingin menonton tivi, bisa duduk di kursi plastik, bisa juga di bawah.

Di sebelah kanan, ada lemari kaca. Kalau di lihat dari luar, lemari kaca mempunya tiga ruang itu berisi barang-barang yang berbeda. Ruang pertama ada pigura-pigura foto berukuran 5*7, berisi foto anggota keluarga Hana. Ruang kedua berada di tengah-tengah, berisi buku-buku, al-Qur'an serta Ibnu Tafsir lengkap. Lalu ruang lemari terakhir, berisi piring-piring antik untuk pajangan. Beralih pada sisi jendela, ada meja kecil di samping jendela tersebut yang bisa di gunakan untuk belajar.

Dekorasi rumah Hana tidak seperti rumah orang tua Faza yang setiap sudut berisi. Walaupun begitu, satu hal yang Faza rasakkan berada di rumah minimalis ini. Terasa nyaman, dari pada rumah orang tuanya.

Mungkin kenyamanan yang Faza rasakan karena kehidupan keluarga Hana rukun---dari pada keluarganya, suasana rukun tercipta tidak terasa tulus pada diri Faza.

"Kak Hana belum selesai ngaji bang?"

Faza menoleh pada Rafly keluar dari kamar. "Belum." Baju koko putih yang di gunakan Rafly ketika sholat tadi sudah di ganti dengan sweater hitam, serta ransel di punggunya.

"Mau kemana?"

Rafly duduk di kursi plastik kosong samping Faza. "Les Privat. Nasib anak kelas tiga. Harus belajar mati-matian supaya lulus dengan nilai memuaskan."

"Demi masa depan juga kan?"

Rafly mengangguk. "Benar sih. Cuma, Rafly belum ada niat kuliah setelah ini."

"Kenapa?"

Rafly menopang kepala dengan tangan kiri. "Pengen istirahat sejenak dari dunia pendidikan. Nganggur setahun, bantu Abi di toko. Itupun kalau di bolehin. Kalau enggak? Ya--gimana lagi turuti aja kata bapak penguasa di rumah ini."

Faza tertawa singkat. "Turuti kata abi. Karena harus jadi anak berbakti?"

Rafly mengangguk. "Ya--bahasa umumnya gitu. Jadi anak berbakti, berarti harus turuti apa kemauan orang tua. Apa pun keputusan mereka, alasannya enggak jauh-jauh, selain mau yang terbaik untuk anaknya." Laki-laki berumur delapan belas tahun itu menarik napas pendek, mengalihkan muka dari abang iparnya ketika suara pintu kamar berbunyi.

"Kalau pun abi tau rencana Rafly enggak kuliah. Enggak akan marah juga. Paling diberi nasehat dengan cara baik-baik. Beda cerita sama si itu,-" Rafly mengarahkan dagu menunjuk Hana keluar dari kamar.

FaNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang