FaNa-Dua Puluh

2.7K 255 116
                                    

°•°Menghadapi-Nya, Sangat Sulit Bagi Ku, Untuk Tidak Tersenyum °•°

°•°

"Semoga di lain waktu, atas izin Allah Faza kembali lagi ke Padang, tinggal lebih lama disini. Faza minta, mohon do'akan Faza dan Hana di setiap sujud abi-ummi, Do'akan kebaikkan untuk hubungan kami."

Raut wajah Faza begitu tenang menatap Syaiful-Dian. Ini pertama kalinya Hana melihat Faza seperti itu, sampai-sampai ia berusaha menahan air mata yang sudah berlinang di pelupuk mata agar tidak keluar.

Apa yang di katakan Faza, seolah itulah jawaban yang di berikan pada Hana. Melanjutkan hubungan mereka dengan jalan yang di ridhoi oleh Allah.

Hanya saja, setelah di Bandung, Faza tetap bersikap dingin. Irit bicara. Hana jadi bingung sendiri bagaimana menghadapai laki-laki itu. Karena itulah Hana ingin bicara, meluruskan semua. Benar-benar memastikan apa Faza tidak main-main lagi dalam hubungan mereka.

Hana mengetuk pintu kamar. "Faza." panggilnya, setelah mengetuk pintu tiga kali.

Tidak perlu menunggu lama, ganggang pintu bagian luar bergerak. Orang yang Hana panggil, keluar dari kamar.

"Bi-sa bicara sebentar?"

"Dimana?"

"Di-sini-aja."

"Disini?" Faza menujuk ke lantai granit yang mereka pijak. "Berdiri?"

Hana semakin gugup, memutar kepala ke kiri-kanan seolah tempat yang ia pijak ini baru pertama kali ia kunjungi. "Baiknya--duduk."

Faza beranjak dari depan kamar menuju ruang tamu, diikuti Hana dari belakang. Posisi mereka duduk di sofa saling berhadapan. Hana duduk di sofa singel. Begitu juga dengan Faza. Jarak yang tercipta hanya karena ada meja di tengah-tengah sofa.

Faza tidak bicara memecahkan keheningan yang terjadi. Laki-laki itu hanya menatap Hana. Seolah laki-laki yang memiliki ketajaman mata hitam bak elang, menunggunya bicara.

Hana menunduk tidak berani menatap lawan bicara. "Benar tidak,-mau cerai?"

Faza mengangguk.

"Sikap kamu bagaimana? Tidak seperti,-sebelumnya kan?"

"Kalau bicara, bisa natap lawan bicara? Mahasiswa komunikasi bukan?"

Nafas Hana tertahan, perkataan Faza ibarat panah yang menusuk hatinya. Sudah jelas tersinggung, seolah Hana tidak menerapkan apa yang di pelajari ketika kuliah dalam kehidupan sehari-hari. Tidak ada pilihan lain, Hana mengangkat kepala menatap lurus ke pada Faza.

"Jadi?" tanya Faza setelah bertemu dengan bola mata coklat Hana.

Loh? Kok jadi? Bukannya Hana sudah bilang? Atau tidak mendengar terlalu jelas? Atau tidak paham apa yang di bicarakan? atau,-ah sudahlah dari pada menebak-nebak terus sikap Faza yang memang benar sulit di tebak. Baiknya katakan saja.

Hana menarik nafasnya secara perlahan. Bicara dengan menatap mata Faza, bagi Hana membutuhkan keberanian. Ingin suasana agak tenang ketika bicara serius, tapi lawan bicara menatap dengan tatapan dingin. Siapa yang tidak mati kutu. Syaiful,-abinya saja tidak pernah menatapnya seperti itu.

"Tidak mau cerai. Berarti--kamu tidak akan memperlakukan aku seperti sebelumnya kan? Maksudnya tidak seperti orang asing lagi di apartemen. Memperlakukan aku benar-benar sebagai--istri kamu."

"Ya."

Hana kesal mendengar jawaban Faza. Ia bicara panjang lebar. Faza menjawab dengan kalimat pendek. Cuma dua kata. Ya Allah, apa KKBI di otak Faza sedang tidak berfungsi? atau bagaimana?

FaNaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang