Tiga tahun sebelumnya.
Nyai Roro Sembadra Singadimedjo mengangkat sedikit jarik sutranya yang melambai menyapu lantai marmer tua di wisma Nughara Wetan. Sudah berapa lama dia tidak bertandang ke rumah ini? Seperti berbulan-bulan.Nyai Sembadra memandangi perobatan usang yang menghiasi setiap sudut Nugraha Wetan. Lusuh, tua, dan sedikit ketinggalan zaman. Kalau barang antik, Nyai Sembadra pasti tahu betapa kuno dan anggunnya perabotan tersebut.
Tapi, perabotan di rumah ini seperti mengabarkan cerita pilu mengenai penghuninya.
Nyai Sembadra bersyukur, tidak menjadi penghuni rumah ini. Tidak berdarah Nugraha de Weisch.
Dirinya, cukup berharga dan bermartabat dengan darah biru murni keturunan Keraton Kasunanan. Walau saat ini, ia berdomisili di sebuah kota kecil yang ramai dan berbau amis di tepi dermaga.
Saat ia menaiki tangga yang ditutup dengan karpet tebal nan usang, Nyai Sembadra masih bisa mengetukkan sandal kulitnya sehingga tetap berbunyi klak-klok-klak-klok.
Itu ciri khas. Nyai Sembadra tidak mungkin menghilangkan bunyi khas sandal kulit berhak 5 centimeter tersebut.
Sebelum membuka kenop pintu yang terbuat dari kuningan berkelas tinggi. Nyai Sembadra merapikan wiron kebaya dan jarik-nya. Kerudung sutranya yang tidak menutupi dada dibiarkan berjuntai indah di sisi lengannya.
Ia mengucapkan salam dan menemukan keponakan-keponakannya di dalam ruang santai berukuran 6 x 8 meter. Ke-empat gadis di usia mekar itu duduk dengan anggun dan tertata. Mengenakan gamis bertumpuk sederhana namun memiliki desain pas.
Tapi, tentu saja keindahannya tidak bisa menyamai jarik dan kebaya yang dipakainya saat ini. Nyai Sembadra tersenyum puas. Mereka juga tidak mengenakan batik sutra. Ia tidak kaget dengan hal ini.
Ibu mereka adalah Roro Ayu Laksmita, desainer tanggung di kota ini. Ia lebih menyukai menyebut adiknya sebagai desainer ketimbang tukang jahit. Karena toh, Ayu Laksmita memiliki butik walau tidak terlalu laris.
Keponakan-keponakannya mewarisi darah ningrat dari adiknya, Ayu Laksmita, sementara Papa mereka adalah Noel de Weisch alias Nugraha de Weisch. Lelaki berdarah Belanda yang konon juga memiliki darah royal. Tapi, itu tidak penting lagi karena laki-laki bule itu sudah meninggal sejak sepuluh tahun lalu.
Meninggalkan warisan yang tidak terlalu banyak. Hidup Ayu Laksmita dan kelima anaknya sungguh membuatnya nestapa. Walau Nyai Sembadra sering disebut tinggi hati, tapi ia tidak bisa membiarkan adik perempuannya itu menanggung semuanya sendiri.
Ia sering berkunjung dan memberi oleh-oleh sangat banyak. Dari uang tunjangan, bahan makanan, hingga kain-kain mahal dan indah.
"Aku dengar ada kabar bagus untuk kalian, Cah Ayu," Nyai Sembadra duduk dengan hati-hati di sofa tua berwarna abu-abu. Ia memandang Bestari, si sulung dengan paras paling cantik.
Bestari duduk di dekat jendela berukuran besar—khas rumah peninggalan kuno. Wajahnya yang klasik, dengan hidung ramping, mata biru, dan kulit pualam sering membuat banyak laki-laki salah tingkah. Kalau tidak jatuh terjerembab, karena tak awas lagi.
Sementara tak jauh di dekat Bestari adalah Arimbi, anak ke-empat yang memiliki kecantikan hampir menyamai kakak pertamanya. Hanya, Arimbi tidak memiliki mata biru yang menawan.
Satu per satu kemenakannya mencium tangannya dan mengucapkan salam santun, kemudian duduk kembali dengan pose tertata. Hal ini seperti sudah dilakuan ribuan kali, tidak ada suara berisik ataupun hal-hal memalukan lainnya. Nyai Sembadra menyunggingkan senyum lega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Lara (18+)
RomanceLara Lembayung berjingkat pelan turun dari tempat tidur. Kakinya yang jenjang menapak dengan hati-hati di atas lantai parket. Suara derit kayu pelan terdengar. Lara meringis. Ia menoleh ke samping. Lelaki itu masih terlelap. Matanya masih rapat ter...