Part 4

14K 254 9
                                    

Lara berhati-hati mengemudikan mobil. Suasana terasa demikian sejuk dan cerah. Bibirnya menyunggingkan senyum bahagia. Menatap pemandangan indah yang membentang luas.

Langit begitu biru. Cakrawala tampak tipis membelah angkasa.

Hawa pegunungan yang dingin dan sejuk segera menyentuh kulit. Mbok Darmi yang berada di sampingnya tampak tersenyum lebar.

Suasana sumuk dan gerah sepanjang jalan perlahan terganti dengan aroma segar dataran tinggi.

Walau jalan yang dilalui lebih kecil, tapi di sepanjang jalan berjejer villa, penginapan, dan beberapa hotel berbintang. Tretes terletak di kaki lereng gunung Welirang—Arjuno. Salah satu tujuan wisata di Pasuruan.

Beberapa calo penginapan dan villa memberi isyarat pada Lara. Menawarkan jasa.

Mbok Darmi dengan lucu dan fasih menolak, “Mboten Pak, sudah booking di Hotel Surya.”

Begitu terus, hingga mobil mereka melaju ke arah yang lebih menanjak, sekaligus menukik. Jika Lara tak lihai mengendalikan kemudi, pedal gas, serta kopling tentu mereka kesulitan mencapai wisma de Borgh yang terletak di atas bukit kecil.

Wisma de Borgh tampak berkilau dari jauh. Sayang, jalanan menuju ke atas begitu curam.

Lara membayangkan Volvo reyotnya melaju mundur karena tak kuat menanjak. Ia akhirnya memarkir mobilnya di tepi jalan setapak yang agak lebar.

“Non, itu rumah Pak Juan?” tanya Mbok Darmi terkagum-kagum.

Nggih, Mbok. Itu rumahnya,” jawab Lara sembari menyipitkan mata karena silau dengan cahaya keputihan dari dinding wisma de Borgh.

“Lho, terus ke sananya nggak pake mobil, Non?”

“Jalan kaki, Mbok. Kalau naik mobil, mesinnya nggak kuat. Ntar malah mundur,” sahut Lara sembari berpikir keras.

Kira-kira Mbok Darmi bisa tidak ya jalan kaki sejauh dua kilo dengan kondisi seterjal ini?

“Waduh, ntar asam uratnya Mbok Darmi kambuh, Non Lara,” jawabnya tak lama kemudian. Sembari memegang lututnya.

Lara tertawa, “Mbok Darmi di sini saja, biar aku ke sana sendiri.”

“Wah, nanti kalau ada bahaya gimana? Ndoro Nyonya bisa marah, Non?”

“Ah, nggak papa, Mbok,” ucap Lara riang. Sembari menuntun Mbok Darmi ke sebuah warung kecil yang tampak agak ramai.

“Mbok di sini saja sebentar ya.”

Lara meninggalkan Mbok Darmi yang menatapnya dengan pandangan cemas.

Tak salah jika tadi Lara mengenakan sepatu olah raga alih-alih boots kesayangannya. Ia bisa berjalan lebih cepat menyusuri jalanan berbatu dan sedikit becek, karena kadang hujan begitu saja turun.

Lara menarik napas agak lega saat ia menghirup aroma hutan dan daun-daun yang basah. Gamis jeans-nya tampak berlumpur, tapi ia tak mau ambil pusing.

Ia melewati barisan pohon-pohon perdu dan beringin. Agak gelap, karena daun-daun yang rimbun menghalangi cahaya matahari.

Entah mengapa Lara merasa tak enak hati, ada sesuatu yang bergerak ke arahnya. Ia berhenti dan memutar pandangan ke kiri dan kanan. Ia tak menemukan apapun selain siluet daun dan pohon yang begitu rimbun.

Tiba-tiba di belakangnya terdengar ringkikan kuda yang ditarik secara paksa.

Suara kuda berwarna hitam mengkilat itu melengking seiring dua kakinya menendang-nendang ke atas. Lara secara spontan menepi, dan melihat kuda hitam itu berusaha dijinakkan oleh penunggangnya.

Malam Pertama Lara (18+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang