Sekarang di sinilah mereka. Ia dan Nissa duduk di sebuah sofa tamu dalam ruang kerja Juan de Borgh. Di sebelahnya, Nissa tak ingat apa-apa selain memandangi Juan dengan kagum, dari atas ke bawah. Begitu seterusnya.
"Dia seperti model pakaian dalam cowok!"
"Hus!" sergah Lara, secepat kilat ia menginjak sepatu Nissa. Nissa meringis kesakitan, tapi terkekeh pelan.
"Model-model Calvin Klein! Gitu lho, Ra!"
"Hus!"
Lara mengamati Juan yang berdiri membelakangi mereka. Ia sedang menerima intercom dari sekretarisnya. Samar-samar ia bisa mendengar jelas apa yang diucapkan lelaki itu.
"Batalkan meeting dengan kontraktor listrik. Undur sampai besok. Itu kalau mereka mau. Kalau tidak, cancel saja!"
Apa?
Enak sekali membatalkan janji.
"Sampai di mana kita tadi?" ucap Juan sembari melihat dua tamu ingusan di depannya. Ia duduk dengan santai dan melipat tangannya. Menggulung lengan kemejanya sesiku. Ia terlihat begitu rileks.
Lara tak berani mengangkat wajah. Ia hanya memandang sekilas ruang kerja dengan nuansa monokrom yang modern. Dominan dengan warna putih, abu-abu, dan hitam. Begitu maskulin.
Seluruh perabot seperti dibuat secara khusus, ditata dengan gaya dan desain senada. Kayu, logam, dan bahan dari kulit. Ruangan ini seperti menggambarkan kepribadian Juan, membuat Lara tak bisa bernapas.
Gadis itu meneguk salivanya. Dadanya masih berdebar keras. Beruntung ada Nissa di sampingnya. Tapi, kenapa Nissa jadi seperti ini?
"Lara?" suara bariton itu menyadarkannya.
Lara menegakkan punggungnya, "Belum. Mungkin Nissa ada pertanyaan lain."
Ya, Allah. Kenapa otaknya mampet di saat seperti ini?
"Iya, Nissa?" ucap Juan kemudian.
"Tadi Bapak sudah banyak bercerita mengenai perjalanan bisnis 'Taman Asoka' apakah boleh kami bertanya hal-hal yang lebih pribadi?" tanya Nissa. Gadis mungil itu menikmati sekali wawancara kali ini.
"Tentu," jawab Juan lugas, "kamu juga boleh bertanya hal pribadi padaku, Lara."
Serta merta Nissa menyenggol bahu Lara, memberi isyarat.
"Kenapa Bapak masih melajang di usia matang ini? Apa tidak ada perempuan yang sanggup membuat Bapak bertekuk lutut?" tanya Lara tiba-tiba.
Oke. Itu pertanyaan paling bodoh dan tidak sopan yang begitu saja keluar dari bibirnya.
Seandainya ada tombol 'delete' Lara pasti segera men-'delete'-nya dan bertanya lain hal. Hobi kesukaan misalnya. Tentu lebih pantas.
"Kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri, Lara," jawab Juan tampak tak kaget dengan pertanyaan itu.
"Maksudnya?" Lara mengangkat dagunya dan berusaha mengkonfrontasi lawan bicaranya.
"Iya. Tak ada perempuan yang membuatku takluk. Jika itu maksudmu," ucap lelaki itu akhirnya.
"Bukan 'tak ada', tapi belum ..." suara Lara menggantung. Berusaha mengoreksi.
Hening.
Hanya suara pendingin ruangan yang mendominasi. Lara tak melanjutkan pertanyaan bodohnya, Juan juga tak ingin bersitegang dengan dua tamu kecilnya.
Nissa mengamati dengan perasaan aneh. Ia seperti mencium hal-hal yang bersifat rahasia.
"Sebenarnya, tipe perempuan bagaimana yang bisa membuat Bapak-eh bertekuk lutut itu?" tanya Nissa memecah keheningan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Lara (18+)
RomanceLara Lembayung berjingkat pelan turun dari tempat tidur. Kakinya yang jenjang menapak dengan hati-hati di atas lantai parket. Suara derit kayu pelan terdengar. Lara meringis. Ia menoleh ke samping. Lelaki itu masih terlelap. Matanya masih rapat ter...