Juan memasuki kantornya dengan perasaan tak menentu. Ia meminta asistennya membuatkan kopi. Asistennya itu bukan Sally tentu saja tapi Suryo.
Bukan dengan alasan khusus tapi memang sebuah syarat. Ini bukan kantor induk Taman Asoka—tempat ia dulu bertemu dengan Lara, melainkan bangunan resor yang hampir setengah jadi.
Sebab itulah di sini hanya ada dua puluh lima pegawai, di antaranya arsitek, manajer umum, staf kantor, beberapa bilang pekerja bangunan, office boy, dan koki.
Tentu saja semuanya harus laki-laki karena tempat ini begitu terpencil dan jauh dari jangkauan. Bahkan penduduk desa terdekat sangat jarang bertandang ke sini.
Hanya pendaki-pendaki gunung yang terkadang ingin tahu lalu mampir dan mengambil swafoto. Kemudian para pendaki itu melanjutkan perjalanan ke tempat yang lebih tinggi, sebelum beristirahat di pondok pendaki.
Pondok itu terletak di sebelah utara lereng Welirang dan dataran yang lebih tinggi ketimbang Taman Asoka.
Itulah mengapa ia masih memikirkan keadaan Lara.Tempat ini bisa dikatakan tidak seratus persen aman dari bahaya. Lagi-lagi Juan mengembuskan napas dengan sedikit kesal.
Ini memang masih terlalu pagi. Udara masih terasa begitu dingin walau cahaya pagi bersinar hangat. Mengelus pucuk-pucuk daun yang basah karena titik air tadi malam.
Wajahnya sedikit berkerut memikirkan keberadaan Lara. Ia ingin menghubungi gawai gadis itu tapi sisi hati lainnya melarang.
Bukankah dirinya memang tak menginginkan pernikahan konyol ini?
Juan hanya memahami jika pernikahan ini adalah syarat dari bantuan yang dikucurkan Papanya. Karena, sebelumnya ia memang nyaris bangkrut gara-gara tempat terkutuk ini.
Lalu, setelah semua masalah teratasi, untuk apa ia harus memikirkan Lara? Ia juga sudah membantu melunasi utang Nugraha Wetan, bahkan melebihkan bantuan itu atas nama pernikahan.
Juan mendongak, menatap langit-langit ruang kantor yang berwarna krem. Ia berputar bersandar pada kursi ergonomis yang cukup nyaman. Kepalanya kembali berdenyut, ia masih mengingat Lara.
Agak tergesa, ia mengambil gawai di meja, menghubungi Mama mertuanya.
Setelah berbasa-basi sejenak dengan perempuan Jawa ningrat itu, Juan mengajukan pertanyaan.
“Apa Lara pulang ke Nugraha Wetan, Ma?”
Di sana beberapa jenak tak ada jawaban.
Ia mendengar mertuanya menghela napas panjang, “Tidak Nak Juan. Lara tidak ke sini, apa dia pergi dari Taman Asoka?”
Juan lalu menjelaskan jika tadi pagi Lara tidak menemaninya sarapan. Ia juga tak menemukan Lara di dalam rumah. Di dapur, kamar mandi, ruang tengah, bahkan lapangan kecil di depan resor. Tidak ada Lara di mana pun.
“Lara suka berjalan-jalan, Nak. Ia sangat lincah dan senang melihat-lihat sesuatu. Sebab itu, ia ingin jadi pewarta. Dulu, Lara ingin berkeliling dunia. Ia menganggap dunianya hanya sebatas Nugraha Wetan dan kampus saja,” Mama mertuanya berhenti seperti tertawa kecil,
“ia pasti sedang berkeliling, tenang saja Nak. Lara tidak akan meninggalkan Nak Juan sendirian di sana.”
Lalu percakapan itu berakhir saat Juan melihat jarum jam sudah bergerak ke arah kanan.
Ia sedikit lega mendengar pemaparan Mama mertuanya. Tapi, kenapa bayangan Lara selalu menganggunya?
Ia sungguh tak bisa berkonsentrasi hari ini. Setiap kali memejamkan mata, Juan selalu melihat Lara. Harusnya dia bahagia karena gadis itu tidak merepotkannya lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Malam Pertama Lara (18+)
RomanceLara Lembayung berjingkat pelan turun dari tempat tidur. Kakinya yang jenjang menapak dengan hati-hati di atas lantai parket. Suara derit kayu pelan terdengar. Lara meringis. Ia menoleh ke samping. Lelaki itu masih terlelap. Matanya masih rapat ter...