Aku bisa melihat betapa berantakannya diriku lewat pantulan kaca di depan sana. Kantong mata hitam melingkari kedua mataku hingga membuat pandanganku menjadi sayu. Belum lagi rambut acak-acakan serta bibir kering yang kian memperburuk penampilanku. Sangat kacau.
Ini adalah hari minggu, yang biasanya kugunakan untuk berbaring sepanjang hari tanpa melakukan apa pun. Tetapi tidak untuk saat ini, tumpukan kertas di atas kasur dan laptop yang menyala sudah menunjukkan jika mingguku kugunakan untuk bekerja.
Hanya tinggal beberapa belas jam saja sebelum aku menyerahkan hasil penyelidikanku kepada Angela. Sialnya, aku tak mendapat hasil apa pun. Meski beberapa hari belakangan aku menyamar untuk terus membuntuti Liam Wilde saat sedang berada di luar, aku tetap tidak menemukan apa pun.
Kehadiran Eric sebenarnya juga tidak banyak membantu. Ia hanya memberikanku akses untuk bisa berada lebih dekat dengan Liam. Katanya, Eric akan memberikanku data-data mengenai skandal Liam yang sengaja disembunyikan, tetapi sampai detik ini pria itu belum tahu di mana Liam menyembunyikan berkas-berkas tersebut.
Aku sempat menghubungi korban setelah meminta bantuan temanku untuk melacak lewat video pengakuan yang sempat viral. Sayangnya pesanku tidak digubris sampai detik ini. Waktu yang hanya tersisa sedikit, juga tak memungkinkanku untuk langsung mendatangi lokasi korban yang berada jauh dari Manhattan. Apalagi dengan kondisi finansialku yang tak mencukupi. Alhasil aku hanya bisa mencari tahunya lewat internet tanpa hasil.
Ponsel yang berdering menghentikanku sejenak dari aktivitas menganalisis data-data yang kudapat seadanya. Nama Eric muncul di sana. Segera kuangkat panggilannya tanpa berpikir panjang.
"Halo? Ada apa, Eric?"
"Bisakah tidak kau datang ke sini sekarang, Sophie? Aku berada di parkiran gedung penthouse Liam. Berkas yang kau cari sudah ada di tanganku saat ini."
Mataku membulat sempurna. "Kau serius? Baiklah. Aku akan segera ke sana."
Ini berita baik. Apa yang kucari selama ini akhirnya bisa kudapatkan. Berkas yang sempat hilang dari pengadilan tak lama lagi akan berpindah tangan kepadaku.
Dengan pakaian seadanya ditambah dengan topi serta jaket, aku siap menyambangi kediaman Liam Wilde. Tak peduli dengan tampilanku yang sudah seperti mayat hidup. Eric memintaku untuk datang secepatnya agar gerak-geriknya tak terdeteksi oleh Liam.
Entah sudah berapa banyak uang yang kukeluarkan hanya untuk urusan akomodasi selama satu minggu ini sebab aku lebih banyak bekerja di luar. Tetapi tak masalah karena sebentar lagi usahaku akan membuahkan hasil.
Aku langsung menghubungi Eric begitu tiba di gedung penthouse Liam Wilde. Eric kemudian mengarahkanku untuk datang ke parkiran. Tentu saja aku menggunakan kartu yang diberikan Eric sebagai akses masuk untuk menembus pemeriksaan satpam. Dan di sinilah aku sekarang, menunggu di balik dinding jalur masuk kendaraan.
"Sophie?"
Kutolehkan kepalaku ke belakang dan mendapati Eric berjalan menghampiriku dengan tangan yang penuh akan map. Melihat pria itu berada di sini dengan setumpuk berkas yang dicari-cari oleh seluruh media selama ini, perasaanku mendadak dipenuhi kelegaan.
"Eric, terima kasih banyak," ucapku dengan tulus sembari menerima berkas-berkas tersebut dari Eric. Ini benar-benar melegakan.
"Jadi, dari media mana kau berasal?"
Tidak, pertanyaan bernada datar itu tentu tak berasal dari Eric sebab pria itu tidak mungkin menanyakan informasi yang sudah diketahuinya. Ada sosok lain yang tiba-tiba hadir di antara kami. Dan dia adalah Liam Wilde.
Sialan!
Seketika tubuhku mendadak kaku karena tertangkap basah. Berpaling pada Eric, kulihat pria itu tampak biasa saja, tak menampakkan gestur seperti orang yang habis kepergok melakukan kesalahan. Apalagi ketika Eric tiba-tiba saja mengangguk sopan kepada Liam lantas meninggalkanku dalam kebingungan.
Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa Eric meninggalkanku bersama Liam? Padahal jelas-jelas pria itu juga ikut terlibat.
"Ikut denganku atau kau akan kuhabisi detik ini juga." Di antara kebingunganku, Liam kembali buka suara, kali ini terdengar mengancam. Pria itu lalu berbalik dan melangkah menuju lift.
Dengan otak yang seakan-akan tersumbat oleh sesuatu hingga menyebabkan pikiranku tak bisa bekerja secara rasional, aku pun menuruti Liam dengan mengikutinya menuju lift. Ancamannya sangat meyakinkan di telingaku dan berhasil menimbulkan rasa takut. Mau tak mau aku hanya bisa pasrah pada perintahnya.
Di dalam lift, aku berdiri tegang di belakang Liam dengan ketakutan yang luar biasa. Dengan kekuasaannya yang tak main-main, Liam bisa melakukan apapun padaku. Terlebih lagi setelah dia tahu apa tujuanku. Dan aku hanya bisa menunduk sembari merapalkan doa di dalam hati.
Setibanya di penthouse Liam, dia menggiringku ke satu ruangan yang kutebak sebagai ruang kerjanya.
Liam berhenti di depan meja hitam yang berukuran paling besar di ruangan ini. Dia lantas berbalik dan berhadapan langsung denganku yang juga ikut menghentikan langkahku begitu Liam berhenti. Ada jarak sekitar empat langkah di antara kami.
Kuteguk ludah berkali-kali untuk menyamarkan kegugupan yang bercampur dengan ketakutan. Kugigit bibir dalamku dan membiarkan manikku bergerak liar ke mana pun asalkan tidak jatuh pada bola mata Liam yang menyorotku begitu intens seolah tatapannya bisa menghanguskan tubuhku dalam sekejap.
"Shopie Pillsbury." Liam mengeja namaku, dan itu terdengar seperti malaikat maut hendak datang menjemputku. "Aku sudah tahu apa yang kau lakukan beberapa hari ini."
Aku mencoba untuk menatapnya. Wajahnya tampak kaku dengan rahang yang mengeras. Bibirnya juga membentuk satu garis tipis yang sudah jelas menunjukkan bahwa Liam sedang dalam mode pemburunya. Dan aku sangat cocok dijadikan sebagai mangsanya.
"Kemari dan letakkan berkas-berkas itu di atas mejaku," titah Liam.
Aku kembali menurut. Berat langkahku ketika berjalan. Aku mungkin tak akan bisa hidup dengan tenang setelah ini. Urusanku dengan Liam pasti tak akan selesai sampai di sini. Terlebih lagi sudah dapat dipastikan jika aku juga akan kehilangan pekerjaanku.
Perintah Liam sudah selesai kujalankan. Aku hendak kembali ke tempatku semula, tetapi Liam menahanku dengan cara memegang lenganku. Otomatis aku langsung menengok ke arahnya. Ekspresinya masih sama, begitu datar dengan tatapan dinginnya yang mengintimidasi.
"Mencari masalah denganku itu artinya kau sedang menggali kuburanmu sendiri," ucap Liam seraya menarikku dan membuat tubuh kami menempel. Tangannya yang tadi menggenggam lenganku, kini berpindah memeluk pinggangku. Sementara tangan yang satunya lagi digunakan untuk menjepit wajahku hingga tatapanku tak bisa bergerak ke mana pun selain ke matanya. "Bersiaplah, setelah ini aku akan terus mengawasimu," tambahnya.
Tak ada yang bisa kulakukan. Tubuhku berada di bawah kuasanya. Ketakutan berkecamuk dalam dada dan tanpa sepengetahuanku, mataku memproduksi air mata yang perlahan menetes menuruni wajahku.
Selain rasa takut yang luar biasa, aku juga menangis karena nasibku yang mengerikan. Setelah ini, Angela akan memecatku dan membuatku di-blacklist dari perusahaan mana pun. Karirku hancur dan hidupku menjadi tak tenang karena harus berurusan dengan Liam Wilde.
Tak lama kurasakan rengkuhan Liam di wajahku mulai mengendur dan dia perlahan menjauhkan tangannya dari wajahku. Begitu pula dengan satu lengannya yang ditarik dari pinggangku dan membuatku benar-benar terbebas dari kurungannya.
"Pergilah." Hanya itu yang diucapkan Liam sebelum pria itu berjalan menjauhiku.
Entah kenapa, tangisku malah bertambah kuat. Air mata jatuh bercucuran membasahi wajahku. Sempat kulihat bayangan Liam yang sedang menghentikan langkahnya, tetapi saat aku mendongak, hanya punggung pria yang kini berjalan meninggalkanku itu yang dapat terlihat di mataku.
Kini ... aku benar-benar hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
I Kissed a Billionaire
RomancePertemuan tak terduga antara Shopie Pillsbury dengan billionaire tampan, Liam Wilde mengubah hidup gadis itu menjadi lebih rumit, dan mau tak mau menariknya masuk lebih dalam ke kehidupan sang billionaire. *** Tujuh tahun yang lalu, Shopie Pillsbury...
Wattpad Original
Ada 6 bab gratis lagi