Wattpad Original
Ada 4 bab gratis lagi

Bab 5

22K 2K 102
                                    

"A-aku tidak ingat." Aku tergagap. Kedua tanganku bertengger di dada Liam hingga dapat kurasakan otot-ototnya yang keras dari balik kausnya.

Rupanya cecaran Liam yang masih membahas tentang aku yang pernah menciumnya di masa lalu tak kunjung berhenti meski ciuman kami telah selesai.

Kuakui jika Liam sangat andal dalam hal itu. Ciumannya berhasil membuatku melayang walau di awal aku sempat menolak. Lidahnya sangat lihai saat bermain di sekitar mulutku, membuat bagian erotisku berdesir tak tahu malu. Walau pun telah dipancing oleh Liam, aku tetap tak dapat mengingat kapan aku pernah menciumnya. Tak ada satu pun dari memoriku yang membawaku pada kenangan tersebut.

"Sayang sekali." Satu sudut bibir Liam tertarik bersamaan dengan dirinya yang akhirnya membebaskanku dari kungkungannya walau dia tak berpindah tempat dari posisinya.

"Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Aku memberanikan diri untuk bertanya tentang hubungan kami di masa lalu. Pasalnya, aku sama sekali tidak ingat pernah menciumnya.

Liam menarik napas keras. Air mukanya tak beriak, tetap datar tanpa ekspresi. Berbalik, dia lantas berjalan memunggungiku dan kembali menjatuhkan bokongnya di atas kursi yang ia duduki sebelumnya.

"Kemarilah. Aku rasa ada beberapa hal yang perlu kita bicarakan di sini." Liam menatapku melalui bahunya. Gerakan matanya memberi kode padaku untuk mengambil duduk di sampingnya.

Aku masih belum tahu kapan pembahasan ini akan menemui ujungnya. Kuikuti perintah Liam yang memintaku untuk mengisi kursi kosong di sisinya. Tak lupa pula menyempatkan diri untuk mengambil topiku yang dibuang begitu saja olehnya.

Liam tengah meneguk wine yang tersisa dari gelasnya ketika aku menempatkan bokongku pada kursi kosong di sampingnya. Sangat jelas jika posisiku tampak kikuk. Kegugupan seolah betah berdiam diri di dalam tubuhku. Topi yang berada di genggamanku kuremas sebagai usaha untuk meminimalisir kegelisahanku.

Tak pernah kubayangkan jika aku bisa berada sedekat ini dengan Liam. Terlebih lagi pria itu baru saja menciumku dan tak menjelaskan apa pun setelahnya. Sungguh, lebih baik aku berhadapan dengan seorang presiden yang pembicaraannya mengarah pada hal yang jelas dan sering menebar senyum ketimbang berhadapan dengan sosok Liam Wilde yang begitu dingin dan membingungkan.

"Jadi, apa yang harus kulakukan?"

Aku mengangkat alis padanya dengan tetap mempertahankan kesopananku. Bagaimanapun juga, akulah yang membutuhkannya saat ini.

Lalu, apa tadi katanya? Yang harus dia lakukan?

Pembicaraan kami benar-benar tak tentu arah, membuatku terhuyung-huyung mencari jawaban. Aku yakin sekali jika yang barusan ia tanyakan tak berkaitan lagi dengan aku yang menciumnya di masa lalu.

Oh, ya, Tuhan! Padahal aku masih penasaran apakah benar jika aku pernah menciumnya di masa lalu. Aku masih terus berusaha mengorek memoriku, tetapi tetap tak juga kutemukan jawabannya.

"Maksudnya?"

Okay, mungkin aku akan terlihat bodoh di depan Liam karena tidak bisa menerima umpan dari pertanyaannya.

"Wawancara yang kau maksud," jawabnya, datar. Dia menjulurkan jari telunjuk panjangnya untuk menyentuh pinggiran gelas yang telah kosong, terlihat begitu santai. Berbanding terbalik denganku yang mati-matian berusaha menekan kegugupanku.

Benar dugaanku. Pembahasan mengenai ciuman sialan itu sudah berakhir, meninggalkanku dengan rasa penasaran yang tak berkesudahan. Tetapi persetan dengan itu semua, Liam kini mengangkat topik tentang wawancara yang mana kembali membuka kesempatan bagiku.

Menyadari kondisi ini, semangat mendadak kembali memenuhi diriku. Kubetulkan letak dudukku dengan cara meluruskan bahuku agar terlihat lebih percaya diri.

"Kau hanya perlu menjawab pertanyaan dariku. Aku akan memberikan daftar pertanyaannya kepadamu. Kau boleh menghapus pertanyaan yang tidak kau kehendaki," jelasku menggebu-gebu.

"Apa ini masih berkaitan dengan skandal itu?"

Aku mengangguk lemah. Dari nada suaranya, Liam terdengar sangat enggan membahas apa pun soal skandal yang memperburuk citranya.

"Apa lagi yang ingin dibicarakan dari skandal itu? Sudah kubilang jaksa telah menyatakan jika aku tidak bersalah."

"Aku tahu, tetapi orang-orang masih belum puas dengan hasil tersebut. Mereka masih terus membicarakanmu sampai detik ini, menyatakan jika kau menyuap penegak hukum. Kau hanya perlu memberi statement kalau kau memang tidak terlibat dalam skandal itu."

Liam menghentikan gerakan jemarinya di gelas. Matanya terus menyorotku, kelihatan ingin membantahku sekali lagi.

"Lalu, jika aku muncul di depan publik, apa itu berarti orang-orang akan berhenti menuduhku? Bukankah malah memberi celah pada mereka untuk terus menyerangku?"

Aku menggigit bibir dalamku saat tatapan abu-abunya mengunci manikku. Aku mengerti alasan Liam diam selama kasus ini berlangsung.

Liam terdengar mengembuskan napasnya. Disilangkannya satu kakinya di atas kakinya yang lain dengan posisi bersedekap dada. Kepalanya sedikit miring kala memandangku.

"Aku benar-benar tidak peduli jika orang-orang terus membicarakan hal buruk tentangku, tetapi asumsi publik terkadang berhasil memprovokasi kolegaku dan membuat mereka menarik saham mereka dari perusahaanku. Jika itu terjadi, apa kau mau bertanggung jawab?"

Untuk beberapa saat aku hanya bisa terdiam. Kalimat telak darinya berhasil membungkamku. Siapa pun tidak ingin menggembor-gemborkan keburukan mereka di depan publik, termasuk Liam.

Bila ditelisik lebih lanjut, begitu banyak prestasi yang sudah diraihnya. Seharusnya hal-hal seperti itulah yang layak untuk dijadikan sebagai konsumsi publik. Namun, sayangnya aku melakukan ini juga karena tak ingin kehilangan pekerjaanku. Di dalam sana, hati nurani dan keegoisanku mulai memperebutkan predikat sebagai pemenang.

"Baiklah, besok aku akan melakukan wawancara seperti yang kau minta. Kirimkan pertanyaan-pertanyaan yang akan kau ajukan malam ini juga. Untuk jadwal wawancaranya, kau bisa menghubungi Eric," kata Liam, memberikan keputusan di luar dugaan.

Dia ... menerima tawaranku, bukan?

"Tetapi ingat Miss Pillsbury, aku tidak melakukan ini secara gratis. Kau harus membayarnya." Dia menunjukkan senyum miringnya. Matanya bersinar dengan aura jahat di sekelilingnya.

Oh, sial! Dengan apa aku harus membayar? Dia bahkan lebih kaya dariku.

"Sekarang, kau bisa pergi dari penthouse-ku." Liam turun dari kursinya. "Kali ini aku benar-benar mengusirmu, Miss Pillsbury," ucapnya penuh penekanan sebelum berpaling meninggalkanku.

I Kissed a BillionaireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang